Heboh kasus Nazaruddin dan pailitnya PT Istaka Karya menunjukkan masih ada yang salah dalam pengelolaan badan usaha milik negara. Jika nyanyian eks Bendahara Partai Demokrat itu benar, perusahaan pelat merah ternyata belum juga bebas dari campur tangan politik. Prahara pailit itu pun menggambarkan masih banyak BUMN tak sehat yang sudah selayaknya dipangkas.
Nazaruddin pernah menuding proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Bogor, tak lepas dari "tangan kotor" politikus. Proyek sengaja diatur agar dimenangi oleh dua BUMN infrastruktur: PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya. Pengaturan ini disebut-sebut buah dari setoran Adhi Karya senilai Rp 50 miliar kepada politikus Anas Urbaningrum untuk kemenangannya meraih kursi ketua umum di Kongres Partai Demokrat.
Di tengah tudingan itulah, kini muncul kabar tak sedap lain ihwal pailitnya PT Istaka Karya. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pailit yang diajukan PT Japan Asia Investment Company Indonesia. Penyebabnya, BUMN yang juga bergerak di bidang infrastruktur ini tak kunjung melunasi utang sekitar Rp 64 miliar kepada salah satu kreditornya itu.
Karut-marut ini sesungguhnya dapat diminimalkan seandainya rencana transformasi perusahaan negara dan Kementerian BUMN diimplementasikan secara konsisten. Sejak dulu didengungkan perlunya sterilisasi BUMN dari "tangan-tangan" politik. Salah satu caranya, dengan memisahkan sejauh mungkin BUMN dari peluang intervensi politik dan birokrasi pemerintahan lewat pembentukan super-holding, yang menggantikan peran Kementerian BUMN.
Keberhasilan Temasek di Singapura bisa menjadi contoh. Melalui pola ini, perusahaan milik negara bisa benar-benar dikelola secara profesional berdasarkan asas korporasi. Kebiasaan adanya "titipan" nama direksi dari partai-partai politik otomatis dapat dipupus. Dengan begitu, direksi pun tak perlu lagi "kasak-kusuk" menebar fulus kepada para politikus untuk mengamankan posisinya. Sebab, prestasi sepenuhnya dinilai berdasarkan kinerja perusahaan.
Peluang korupsi juga perlu dipersempit dengan memperketat kontrol. Untuk mempermudah pengawasan itu, rencana pemerintah menyusutkan jumlah perusahaan negara menjadi tinggal separuhnya perlu segera direalisasi. Langkah ini pun akan mempercepat proses transformasi dan perbaikan kinerja BUMN. Apalagi faktanya, sekitar 90 persen aset, pendapatan, dan laba bersih perusahaan negara, yang totalnya kini berjumlah 142, hanya disumbang oleh 26 BUMN.
Karena itu, tak perlu pemerintah menunggu BUMN hingga "sekarat" baru dilikuidasi, seperti yang dialami Istaka Karya. Peleburan BUMN di sektor perkebunan, kehutanan, konstruksi, dan farmasi bisa menjadi pionir agar performanya menjadi lebih bugar. Dengan sinergi ini, diharapkan perusahaan-perusahaan pelat merah nantinya tak hanya mampu sejajar dengan swasta lokal, tapi juga mampu bersaing di kancah global.
Untuk mewujudkan hal itu, sudah sepatutnya ego sektoral kementerian teknis yang menaungi BUMN dikesampingkan. Dan yang terpenting, dibutuhkan keberanian pemerintah melakukan terobosan, meski bisa jadi kebijakan ini tak populer dan menuai kritik tajam.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar