javascript:void(0)

your direction from here


View tol semarang ungaran in a larger map
happy chinese New Year 2021

cari di blog ini

Senin, 04 April 2011

Kementerian PU Akui Tol di Atas Bekas Longsoran

Bukan di Kawasan Patahan

JALAN LAYANG: Pemandangan dari udara, terlihat salah satu jalan layang di ruas Tol Semarang - Solo, yang melintas di atas jalan tol lama di wilayah Banyumanik. Amdal ruas tol Semarang-Solo seksi I (Semarang-Ungaran) dinilai ada ketidaklaziman. (30)




JAKARTA- Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengakui bahwa proyek tol Semarang-Ungaran di ruas Gedawang-Penggaron dibangun di lokasi bekas longsoran. Longsoran itu terjadi sekitar 40 tahun silam. Ketika dibangun tol, lokasi itu diuruk dengan ketinggian sekitar 20 meter.

Akibatnya, tanah di bawahnya tidak kuat menahan timbunan baru sehingga menyebabkan ambles. Demikian salah satu kesimpulan tim ahli dari Kementerian PU yang diturunkan ke lokasi proyek untuk meneliti penyebab retak dan amblesnya tol di stasiun 5+500, tepatnya di daerah Karangpucung, Banyumanik yang masuk dalam ruas Gedawang-Penggaron.

Kasubdit Bina Teknologi Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, Heddy Rahadian, menjelaskan, perbaikan dilakukan dengan mengurangi beban timbunan lewat cara memotong urukan setinggi 5-7 meter. Selain itu juga dilakukan perkuatan tambahan dengan bore pile.

Hal senada disampaikan Direktur Bina Teknologi Ditjen Bina Marga Purnomo yang mengatakan solusi untuk mengatasi amblesnya jalan tol di ruas tersebut dilakukan melalui cara pemotongan timbunan.

Sebelumnya, Direktur Pengembangan Usaha PT Jasa Marga Abdul Hadi membantah dengan keras anggapan kawasan Semarang-Ungaran yang kini dilalui proyek tol Semarang-Solo seksi I sebagai daerah patahan.
"Kawasan itu bukan daerah patahan. Silakan cek ke (Badan) Geologi. Jika daerah rawan longsor memang benar," kata Abdul Hadi.

Penegasan itu disampaikannya terkait pernyataan sejumlah akademisi bahwa daerah itu sebenarnya masuk zona merah. Sebab, daerah itu adalah zona patahan sehingga secara alami tidak layak untuk proyek seperti jalan tol.
Jalan tol yang belum digunakan itu kini retak-retak dan ambles sepanjang 200 meter dari stasiusn 5+500 hingga 5+700.

Opsi Layak
Menurut Abdul Hadi, rute jalan tol tersebut ditetapkan oleh pemerintah dan merupakan opsi yang layak dari sisi teknis, sosial, lingkungan maupun finansial.
Berdasarkan data penelitian tanah pada tahap perencanaan, lanjut Hadi, secara teknis konstruksi timbunannya memakai timbunan biasa dengan ketinggian hingga 25 meter tanpa perkuatan khusus.

"Pada tahap konstruksi, sesuai saran ahli geoteknik yang berpengalaman di tol Cipularang, dipasanglah bore pile (tiang beton bertulang) pada titik tertentu untuk penahan longsor," katanya.

Senada dengan Hadi, Kepala Divisi Teknik Jasa Marga, Edy Bambang S menyebut, langkah penanganan saat ini adalah mengurangi beban timbunan dengan menggali atau menurunkan permukaan tanah.

Di kawasan itu dikenal sebagai daerah dengan lempung keras (clay shale) dan jika terkena air akan melembek dan cenderung tergelincir, bukan patahan.

"Kami pasang sumuran setiap jarak 25 meter dan mengalirkan air dari sendang di sisi barat timbunan dengan drainase di bawah timbunan (subdrain)," katanya.
Tidak hanya itu, pihaknya telah memasang alat pendeteksi getaran tanah di kawasan itu.

Edy, yang juga Komisaris PT Trans Marga Jateng (TMJ), anak usaha PT Jasa Marga selaku pelaksana proyek tol Semarang-Solo ini menyatakan, apa yang terjadi di kawasan itu lazim terjadi dalam pekerjaan pembuatan jalan.
"Apa yang terjadi di Semarang-Solo seksi I tidak ada apa-apanya dibanding problem Cipularang," katanya.
Namun, keduanya enggan merinci berapa total anggaran untuk melakukan penanganan tersebut.

"Yang jelas, kejadian ini tak berpengaruh pada kelayakan finansial dan ekonomi proyek itu. Rate of return-nya tetap terjaga," kata Hadi.

Proyeksi investasi tol Semarang-Solo sepanjang 72 km sekitar Rp 7-8 triliun. Untuk seksi I Semarang-Ungaran sepanjang 3-4 km sekitar Rp 400 miliar.

sumber :
suaramerdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar