KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Sejumlah pekerja sedang mengecat marka Jalan Tol Semarang-Solo di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (27/8/2010).
PROYEK jalan tol Semarang-Solo, seksi I ruas Semarang-Ungaran dalam pembangunan ulang. Pembangunan ulang itu terutama di Stasiun 5+200 sampai STA 5+700 sepanjang 800 meter di ruas Gedawang Susukan di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Konsultan Teknik PT Jasa Marga (Persero), Alan Rahlan, Senin (28/3/2011) ketika menyaksikan langsung kondisi medan jalan tol di Gedawang mengakui, jalan tol di ruas ini berada di daerah rawan longsor. Tapi bukan berarti tidak dapat ditangani secara rekayasa teknik. Penurunan level badan jalan termasuk upaya mengurangi beban tanah di lokasi tol tersebut.
Atas pembangunan kembali tol ruas Gedawang Susukan, Direktur Utama PT Trans Marga Jateng (TMJ), Agus Suharjanto menilai proses perbaikan memakan waktu lama. Dia juga tidak berani menjamin ruas tol tersebut, tidak ambles lagi.
Pada 26 Februari, jalan tol Seksi I Semarang Ungaran sepanjang 14,5 kilometer sesungguhnya sudah selesai pembangunan konstruksinya. Jalan itu malahan digunakan jalur peserta sepeda santai, sebagai wujud seremoni tidak resmi penanda tol segera berfungsi.
Tapi awal Maret 2011, jalan tol di ruas Gedawang itu retak memanjang di lima titik. Keretakan badan jalan tol itu akibat penurunan level tanah di bagian timur, menyusul longsornya tebing curam yang mengarah ke Kali Pengkol.
PT TMJ kemudian membongkar badan jalan, kemudian mengeruk badan jalan tol sedalam tujuh meter. Jalan tol di ruas Gedawang memang dibangun di atas timbunan tanah variasi setinggi 20- 30 meter. Tanah timbunan, di sis i timur terdapat jurang dalam lebih 30 meter. Dengan adanya pengurangan tanah tujuh meter, tinggi jalan tol menjadi kini antara 13-23 meter.
Kenapa proyek jalan tol itu, sebagian rutenya melewati daerah rawan longsor atau tanah patahan? Apakah Amdal jalan tol ada yang salah, kemungkinan inilah yang sebenarnya menjadi pangkal masalahnya.
Ketua Komidi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, Rukma Setiabudi berpendapat, daerah rawan longsor mestinya tidak digunakan sebagai rute jalan tol. Jika tol itu berfungsi, mestinya harus menjamin keselamatan, kenyamanan dan keamanan pengguna jalan tol. “Kalau ternyata proyek tol itu berlangsung, kemudian timbul masalah jalannya retak, apakah mungkin kesalahan di Amdalnya?” tanya Rukma.
Bukan Kompetensinya
ilustrasi : KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Alat berat meratakan sisi-sisi Bukit Ceper di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang dibelah untuk akses keluar jalan tol ruas Semarang-Ungaran, Jumat (18/2/2011). Sejumlah titik, antara lain di kilometer 5, Bukit Cemara Sewu dan Bukit Ceper dikebut penyelesaiannya agar dapat diresmikan pada 28 Februari 2011.
Amdal jalan tol Semarang Solo, yang diprakarsai Dinas Bina Marga Jawa Tengah dan disusun oleh konsultan PT Virama Karya Jakarta, sudah mendapatkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dari Gubernur Jawa Tengah nomor 665.1/15/2005 pada tanggal 5 Oktober 2005.
Nugroho Widi Asmadi, peneliti di Lembaga Penelitian Universitas Wahid Hasyim Semarang mengungkapkan, proyek jalan tol itu tidak akan melewati daerah longsor apabila kajian atas penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) digarap dengan benar.
“Kebenaran penyusunan Amdal sudah digugat masyarakat sejak 2006, menyusul adanya perubahan rute rencana jalan tol Semarang Solo mestinya tidak melewati Klentengsari dan Pedalangan di Banyumanik,” ujar Nugroho.
Ia mengatakan, pengesahan penyusunan Amdal jalan tol Semarang Solo itu bertentangan dengan perda Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Semarang dan Perda Nomor 5 tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang.
Sesuai perda ini, rute jalan tol semula Tembalang Lapangan Undip Tembalang Jatimulyo Kramas – Gedawang. Diduga ada kepentingan tertentu, rute tol itu kemudian berubah menjadi Kramas Klentengsari Tirtoagung Gedawang yang kini dibangun jalan tol.
Nugroho yang pernah menangani proyek Amdal di beberapa negara Afrika, Asia dan Amerika Latin mencatat pula, pelanggaran penting yang juga dilakukan tim penyusun Amdal adalah mengabaikan surat Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Surat Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup RI nomor B-6049/Dep.V-4/LH/07/2007 tanggal 31 Juli 2007 pokok isinya tidak mengesahkan Right of Way (ROW) dan Detail Engineering Design (DED) pembangunan jalan tol Semarang Solo sebelum pelanggaran rute diatasi.
Surat ini ditujukan Kepala Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU, Gubernur Jateng, Wali Kota Semarang, Kepala Dinas Bina Marga Jateng dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang. Kenyataannya, nasib suratnya ini pun diabaikan pula.
Sisi lain, Amdal juga tidak mengindahkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal yang sudah jelas mengatur keterlibatan masyarakat proses acuan penyusunan Amdal. “Keterlibatan masyarakat disini artinya luas, tidak hanya masyarakat umum yang terkena atau dilewati proyek jalan tol, tapi juga masyarakat ahli berbagai bidang ilmu untuk mencermati soal Amdal,” ujar Nugroho.
Mengabaikan Saran Penilai Amdal
Peneliti transportasi di Fakultas Teknik Unika Soegijapranata Semarang yang juga anggota Tim Penilai Amdal Jalan Tol, Djoko Setijowarno menduga, pihak perusahaan penyusun Amdal itu juga dapat paket pekerjaan penyusunan desain rekayasa detil (Detail Engineering). Padahal, penyusunan Amdal bukan kompetensinya, diperkiraan pekerjaan itu diserahkan pihak ketiga.
Proses Amdal yang janggal itu, lanjut Djoko, membuat banyak kalangan akademi di Semarang menilai Amdal jalan tol itu asli tapi palsu (aspal). “Artinya, ada beberapa ahli tercantum namanya tapi tak terlibat langsung penyusunan Amdal,” katanya.
Pengamat Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Dwiyanto J. Saputro mengatakan, jalan tol itu mestinya menghindari daerah patahan. Ini salah satu saran penting yang ternyata diabaikan tim penyusun Amdal.
Jika saat ini jalan tol di Gedawang terbukti lewat daerah patahan, itu akibat tiadanya ahli geologi, geomekanika dan hidrologi (ahli air) yang terlibat di proses penyusunan Amdal jalan tol dari awal.
Diperoleh informasi, sebelum Amdal jalan tol itu disahkan Gubernur Jateng (kala itu Mardiyanto) pada Oktober 2005, telah melalui sidang-sidang kajian dan analisa Tim Penilai Amdal.
Tim-tim itu bersidang sepanjang 2004/2005, terdiri tim teknis dan anggota komisi dengan pihak tim penyusun dan konsultan Amdal jalan tol di Kantor Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jateng. Pakar-pakar lokal di Semarang, baru terlibat setelah proses penyusunan Amdal mendekati akhir.
Dengan mengabaikan sejumlah saran Tim Penilai Amdal jalan tol, tanda-tanda amblesnya tanah di ruas tol Gedawang sudah muncul sejak 2009 ketika pembangunan proyek jalan tol sudah mencapai jarak enam kilometer dari pintu tol Banyumanik di Kramas, Kota Semarang.
Penurunan level tanah di Gedawang makin kerap terjadi, mengingat daerah timbunan tanah setinggi 30 meter ini diapit dua sungai besar yakni Sungai Kaligarang disisi barat dan Kali Pengkol di sebelah timur.
Anggota Tim Teknis Komisi Penilai Amdal Provinsi Jateng, Dwi P. Sasongko menyatakan, amblesan dan retakan tanah karena pergerakan tanah pada ruas Gedawang Penggaron di Stasiun 5+500 dan STA 5+700. Kerentanan tanah disini kerap terjadi akibat pula perubahan tata guna lahan.
Daerah patahan paling ideal, sebagai daerah resapan air. Gedawang hingga hutan wisata Penggaron selama ini, sebelum dibangun jalan tol, merupakan daerah resapan dan kawasan hutan lindung, tempat sumber air bagi Kota Semarang.
“Potensi terjadinya amblesan dan retakan tanah di rute tol baru itu, sama sekali tidak diprediksi dan dievaluasi dampaknya. Dokumen Amdal yang sudah dibuat, juga tidak terekam di rekomendasi pengelolalaannya pada dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan,” kata Dwi Sasongko, peneliti di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Undip Semarang.
sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar