Oleh DJOKO SETIJOWARNO
Beberapa tahun silam, pejabat dan anggota DPRD Jawa Tengah serempak dan sepakat berkomentar, provinsi tetangga sudah punya jaringan tol lebih panjang. Di Jawa Tengah hanya ada jaringan tol di dalam Kota Semarang. Maka perlu dibangun Tol Semarang-Solo.Sementara itu, ruas Tol Seksi II Gedawang-Susukan sekitar 4,6 kilometer dibangun di atas lahan baru, hasil pengeprasan bukit dan pengurukan jurang sedalam 20 meter-30 meter. Jalur ini dinilai jalur paling berbahaya karena rawan bencana lahan ambles. Padahal, ahli tanah, hidrologi, dan konsultan jalan tol sudah angkat tangan untuk mengatasi lahan patahan dan cekungan air tanah. Akibatnya tertunda terus peresmian ruas Semarang-Ungaran.
Pembangunan jalan tol, kecuali di Jakarta dan Surabaya, sesungguhnya belum menarik bagi investor. Hal ini disebabkan tak adanya kepastian pembebasan lahan dan jaminan seberapa besar jumlah kendaraan yang akan melintas di ruas jalan tol. Jalan tol setidaknya harus dilalui 22.000 kendaraan per hari.
Hal yang sama terjadi untuk ruas tol Semarang-Solo yang mulai digagas tahun 1987 dan mulai intensif digarap serius tahun 2000 oleh Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dengan mengajak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk berinvestasi. Tak ada investor swasta yang tertarik dengan ruas ini. Dulu pernah ada beberapa investor yang berminat, lantas mengundurkan diri akibat dinilai tidak layak dan berisiko besar jika dibangun. Sesungguhnya hal itu menjadi cerminan bagi Pemprov Jateng tak harus memaksakan diri dan mengutamakan gengsi semata dengan membohongi publik. Jelasnya, hingga kini telah memberikan kesejahteraan buat oknum konsultan, oknum kontraktor, makelar tanah, oknum eksekutif dan oknum legislatif dari pemerintah pusat hingga daerah.
Munculnya kasus tanah di Jatironggo menunjukkan lemahnya pengawasan internal maupun eksternal di instansi terkait. Tak mungkin orang luar tahu akan data itu kalau tidak diberi informasi lengkap dari pihak internal. Sesungguhnya indikasi keterlibatan pihak dalam sebagai pemilik lengkap data sangat kuat sekali. Tinggal sekarang ini sejauh mana penyidik mau serius menangani kasus itu.
Sesungguhnya sejak awal beberapa kesalahan sudah dilakukan. Studi amdal tidak dilakukan dengan penuh kesungguhan. Informasi daerah zona merah atau daerah rawan bencana diabaikan. Tak ada niat tulus dari eksekutif maupun legislatif agar proyek ini benar-benar diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Kesalahan teknis tak akan separah seperti sekarang ini bila sejak awal penuh kecermatan dalam merancangnya. Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur, uang rakyat sudah telanjur banyak yang digunakan tak tepat sasaran.
Semestinya harus ada pihak yang bertanggung jawab. Jangan alam yang selalu disalahkan karena sejak awal sudah diinformasikan. Perencana tak mau belajar dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika 146 tahun silam membangun jaringan jalan rel Semarang-Solo tak melintas daerah Ungaran, tetapi memilih melewati daerah Kabupaten Grobogan yang ternyata lebih aman dan lebih mudah pengerjaannya. Selain alasan kemudahan sumber angkutan barang (kayu jati, hasil perkebunan) juga alasan rawan bencana yang tak pernah dipelajari para ahli geoteknik. Perencana semestinya turut bertanggung jawab atas ketidakselesaian pekerjaan ini.
”Trace” alternatif
Sesungguhnya pada 2002 penulis mengusulkan untuk tak memilih trace yang sekarang. Pasalnya cukup banyak tantangan, tingkat kerusakan, dan dampak yang akan ditimbulkan setelah secara fisik dibangun. Namun, hal itu tak membuat Pemprov Jateng berubah pikiran.
Seandainya pilihan trace bersisian dengan jalan rel lintas Semarang-Solo, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh.
Jalan rel sebagai median jalan tol membuat jalur rel lebih aman dari gangguan perlintasan sebidang liar. Biaya pembangunan bisa girit hingga 50 persen. Minim konflik sosial karena di sepanjang wilayah itu tak banyak permukiman dan tak banyak lahan yang harus dibebaskan. Minim calo tanah karena luas tanah yang tersedia sudah mencukupi sekitar 80 persen dari kebutuhan. Ekosistem lebih terjaga dengan baik karena tak ada bukit-bukit yang harus dikepras. Proses pengerjaan lebih mudah karena lokasi relatif datar. Ada sinergi antara jalan rel dan jalan tol dalam hal operasional nantinya. Namun, usulan itu tak menarik apalagi untuk dibahas lebih lanjut.
Pembangunan Tol Semarang-Solo lebih pada pencitraan berbagai pihak yang berkepentingan. Bukan berpihak pada kepentingan masyarakat untuk kesejahteraan. Ruas ini layak bila dikerjakan pada tahap akhir ketika semua ruas Tol Trans Jawa terbangun. Pada 2000, Bappenas mengingatkan melalui kajiannya, ruas Tol Semarang-Solo layak dibangun tahun 2020. Itu pun dengan kondisi volume lalu lintas kendaraan roda empat meningkat terus, bahan bakar minyak (BBM) tetap mendapat subsidi, kondisi perekonomian masyarakat terus meningkat. Padahal, dalam waktu 10 tahun setelah kajian itu, justru bertolak belakang dengan perkiraan kondisi awal. Jumlah sepeda motor meningkat terus. Lima tahun lalu, produksinya 2-3 juta unit per tahun, sekarang 7 juta unit per tahun.
Mulai 2011, kendaraan roda empat pelat hitam tidak mendapat jatah BBM subsidi. Kendaraan roda empat merupakan pemasok pendapatan bagi investor jalan tol selama ini. Bukan angkutan barang atau angkutan umum yang selain jumlahnya sedikit juga jarang yang masuk jalan tol. Sementara kemampuan atau daya beli masyarakat umumnya masih rendah.
Biaya pembebasan lahan dan pembangunan konstruksi jalan tol Semarang-Solo sepanjang 80 kilometer diperkirakan mencapai Rp 9 triliun. Seandainya dana itu mau dialihkan maka dapat untuk membangun jaringan transportasi umum beserta kelengkapannya di beberapa kota di Jateng. Sebagian dana juga dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan jalur kereta api (KA) yang nonaktif di Jateng sepanjang 600 km. Artinya akan banyak sekali masyarakat Jateng yang akan menikmati dana sebesar itu.
Buruknya perencanaan yang tak cermat sudah sepantasnya mendapat sanksi. Jangan kesalahan ditanggung rakyat dengan menyedot anggaran besar yang semestinya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur lainnya. Kapan rakyat tak dibebani atas kesalahan pejabat yang lalai dan hanya semata mencari pencitraan untuk dirinya. Membangun jalan tol bukan semata karena gengsi, tetapi kemanfaatan buat publik sungguh-sungguh diutamakan.
DJOKO SETIJOWARNO Ketua Forum Perkeretaapian MTI Pusat, Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang
sumber :
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar