javascript:void(0)

your direction from here


View tol semarang ungaran in a larger map
happy chinese New Year 2021

cari di blog ini

Kamis, 19 Januari 2012

Telisik Peradilan Sesat

TIAP kali palu pengadilan memvonis bebas atau lepas kasus korupsi, pegiat antikorupsi sontak berteriak bahwa Dewi Keadilan telah ternoda, seperti diputus lepasnya terdakwa Agus Sukmaniharto dalam kasus pengadaan tanah di Desa Jatirunggo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang.

Rasanya sulit menutup memori berbagai kasus yang menyertai pengadil. Peradilan sesat. Istilah ini mengingatkan pada buku catatan Hermann Mostar Peradilan yang Sesat. Karya yang dicetak di Jerbar dan diindonesiakan oleh Grafiti Press, bercerita soal 13 kasus yang intinya hakim sesat dalam putusannya. Dalam pengantarnya disebutkan bahwa errare humanum est (khilaf adalah insaniah). Manusia bukan saja tak luput dari kekhilafan dan kekeliruan melainkan justru itu bersumber dari manusia.

Terkait kasus tanah Jatirunggo, ada tiga terdakwa sudah diputus. Hati Agus Sukmaniharto berbunga-bunga karena diputus lepas dari tuntutan hukum meski secara faktual turut serta dalam pengadaan tanah tersebut. Tetapi hakim menilai perbuatannya itu masuk ranah perdata bukan pidana. Potret ini berbeda dari Suyoto dan Hamid Sieger.

Padahal ketiganya sama-sama didakwa terlibat dalam praktik korupsi dana ganti rugi lahan PT Perhutani yang tergusur proyek tol Semarang-Solo. Suyoto, mantan Ketua Tim Pengadaan Tanah (TPT) divonis 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 10 bulan kurungan. Adapun Hamid Sieger diputus hakim 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara dan membayar uang pengganti Rp 4,2 miliar atau subsider hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.

Putusan dalam perkara Agus tidak bulat karena ada dissenting opinion sehingga vonis diambil berdasarkan suara terbanyak. Hakim karier Lilik Nuraini sebagai ketua majelis dan hakim adhoc Lazuardi Lumban Tobing menilai perbuatan Agus masuk ranah hukum perdata karenanya tidak bisa dikualifikasi dengan hukum pidana korupsi. Adapun hakim adhoc Shininta Sibarani berpendapat perbuatan Agus masuk ranah hukum pidana sehingga dapat dijerat pasal korupsi.

Mencari Perbedaan

Dua pendapat itu berangkat dari pemahaman dan tafsir yang berbeda terhadap fakta di persidangan. Menurut Lilik dan Lazuardi, Agus dinilai membeli secara sah 68 bidang tanah seluas 27,8 ha dari warga seharga Rp 4,7 miliar dengan bukti akta notarial serta sertifikat dan surat Letter C asli. Karenanya Agus menerima transfer uang Rp 3,8 miliar dari Bank Mandiri sehari sebelum TPT Tol Semarang-Ungaran membayar 99 warga pemilik tanah. Lebih dari itu berdasarkan keterangan saksi, warga itu tidak memberitahukan kepada TPT bahwa tanahnya telah dibeli oleh terdakwa Agus.

Sementara menurut Shininta, cara Agus memperoleh 68 bidang lahan dari warga Jatirunggo tidak benar sebab terdakwa mengelabui warga dengan mengaku sebagai pejabat pemerintah pusat, yang dalam perbuatannya, terdakwa bekerja sama dengan Kades Jatirunggo Indra Wahyudi.

Satu kasus dengan tiga terdakwa yang melahirkan putusan berbeda sebenarnya bukanlah hal baru. Hanya yang menggelitik adalah apa beda substansial dari peran Hamid dibandingkan dengan Agus yang bekerja sama membeli tanah warga Jatirunggo? Di antara konsiderasi vonis 5 tahun penjara adalah Hamid mengelabui warga dengan mengaku pejabat pusat yang ditugaskan mengadakan tanah. Titik ini adalah sama dengan yang diperankan oleh Agus, tapi kenapa lahir putusan yang berbeda?

Menggagas forum eksaminasi publik dinilai cerdas untuk menyingkap dan menyusuri lahirnya putusan yang di mata KP2KKN diduga sesat sehingga mencederai rasa keadilan. Ingat, peradilan bukanlah sekadar penghakiman dan penghukuman melainkan proses menemukan keadilan hingga ke akarnya, untuk kemudian menegakkannya dengan penuh martabat. (10)


— Dr Mahfudz Ali SH MSi, dosen Program Pascasarjana Untag Semarang
 
sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar