BERSITEGANG. Taman (kanan) warga desa Bongas Kulon tampak
tegang saat memberikan aspirasi kepada tim pengadaan tanah
pembebasan tol Cikopo-Palimanan serta Kejaksaan Tinggi Provinsi
Jawa Barat, kemarin. [radarcirebon.com]
|
Seperti diberitakan Radar Cirebon.Com, mereka tidak sepakat dengan biaya ganti rugi lahan tol tersebut dikonsinyasikan kepada pengadilan negeri (PN), sebagaimana terungkap dalam acara sosialisasi tim pengadaan tanah di balai Desa Bongas Wetan, Kecamatan Sumberjaya, Selasa (2/4).
Warga dari tiga desa, yakni Desa Bongas Wetan, Bongas Kulon serta Desa Panjalin Kidul melontarkan aspirasinya kepada tim pengadaan tanah. Seorang warga Sarah (38) mengatakan, tidak mau dizalimi, namun ia juga tidak ingin dianggap tidak patuh terhadap undang-undang (UU).
“Kalau misalkan bapak (tim pengadaan tanah, red) jadi kami, perasaan bapak gimana. Masa harga tanah bersebelahan dengan tanah kami dihargai dengan lumayan. Tapi justru tanah kami malah perbandingannya sangat kecil. Padahal, harga tanah sekarang ini sudah di atas Rp1 juta di pasaran. Mohon untuk lebih diperhatikan lagi,” ucap Sarah.
Warga lainnya, Taman berpendapat mestinya tim tidak hanya melihat dari sisi prosedur, namun mendengar aspirasi warga. “Kalau pihak tol berpendapat sudah sesuai dengan prosedur, kenapa proyek ini harus dikonsinyasikan. Nanti ke depan akan timbul risiko dan beberapa faktor lainnya. Masalah harga, kami berharap segera dibereskan dulu dan ingin disejajarkan harga tanah dengan yang lain,” tegasnya.
Ia menilai, jika pembayaran ganti rugi lahan akan lebih berjalan kalau tidak dikonsinyasikan. Apalagi, menurutnya, aspirasi tersebut sudah disampaikan sejak 7 tahun lalu. Dirinya akan tetap menuntut keadilan terkait masalah tersebut.
“Keinginan kami tidak muluk-muluk, yaitu ingin harga disamakan dengan yang lain. Karena ini akan menyengsarakan rakyat kalau harga tetap dikonsinyasikan ke PN. Sejak tahun 2007 lalu aspirasi kami ini tidak didengar. Bahkan sudah berganti sekretaris daerah (sekda) dua kali,” tuturnya.
Menurut Taman, musyawarah ini ingin yang benar. Pasalnya, dirinya yang menilai ini diskriminasi akan tetap diperjuangkan dengan tidak merugikan pemilik lahan. Kalau bicara kesejahteraan, menurutnya, hal itu belum optimal.
Sementara itu, warga Panjalin Kidul, Hj Nuraisah yang lahan miliknya terkena jalan tol mengaku, keberatan dengan harga pembebasan yang menurutnya tidak sesuai. Betapa tidak, tanah miliknya yang juga sebagai usaha material kayu sebagian sudah diambil oleh jalan tol. Ia tetap bersikukuh kecuali dengan syarat asalkan harga tanah miliknya dihargai dengan Rp1 juta per meter persegi.
“Material (Cahaya Baru) milik saya sebagai menghidupi keluarga saya. Bukannya kami menolak tapi kalau harga dan proses tidak dikonsinyasikan, silakan kalau itu buat kepentingan jalan tol. Dari sertifikat tanah 5250 meter persegi itu dihargai dengan Rp1 juta per meternya, ok saya lepas kalau itu bisa berjalan lancar. Kalau tidak mau tanah milik saya tidak akan saya jual,” tegasnya.
Menanggapi aspirasi warga pada sosialisasi tersebut, ketua Tim Pengadaan Tanah Tol Cikopo-Palimanan, Eten Roseli mengaku, jika masih ada beberapa warga yang bertahan menolak pembebasan tanah tersebut. Namun demikian, kalau proyek tersebut akan tetap dimulai pembangunan pekerjaan fisiknya.
“Masyarakat boleh mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri. Karena kami sudah menjalankan sesuai prosedur yang berlaku, kami nilai sudah selesai. Karena keputusan tersebut diserahterimakan Direktorat Jenderal (Dirjen) Bina Marga serta Kementerian PU yang menyarankan masyarakat masih perlu adanya penjelasan serta pandangan. Oleh karena itu sosialisasi ini kami gelar kembali,” jelasnya.
Menurut dia, dari total keseluruhan pembebasan tol sejatinya hanya 2 persen warga yang masih bertahan. Terkait masalah harga memang susah. Namun masalah ini seharusnya tidak serta merta menanyakan kepada pihaknya.
“Ini hanya segelintir orang dari sekian ratus yang masih bertahan. Banyak yang sudah menerima ganti rugi lahan yang dinilai sesuai dengan aspirasi masyarakat,” terangnya.
Dijelaskan Eten, ruas jalan tol Cikopo-Palimanan mencapai 116 kilometer. Dengan adanya penolakan sejumlah warga, pihaknya menyatakan, bahwa pembangunan fisik jalan tol Cikopo-Palimanan sejatinya bulan Juni 2015 mendatang sudah bisa beroperasi semua. Ruas jalan tol Sumberjaya menuju Palimanan pihaknya mengharapkan dua tahun selesai. Sehingga nanti pasar tradisional Panjalin sudah tidak dilewati dan bisa dihindari.
Sosialisasi tersebut juga tampak dihadiri oleh Tim Kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Barat, Kasi Pemulihan dan Perlindungan Hak Bidang Asdatun, Mahfudin Cakra Saputra SH menyarankan kepada masyarakat yang terkena dampak pembebasan tol, bahwa warga segera mengajukan gugatan atau permohonan ke pengadilan negeri (PN).
Pasalnya, tugas JPU sendiri, yakni untuk mengajukan gugatan atau permohonan ke pengadilan di bidang perdata yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan melindungi kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat. (antara lain pembatalan perkawinan, pembubaran PT dan pernyataan pailit).
“Karena saya nilai, bahwa pelaksanaan pengadaan tanah kami nilai sudah sesuai administrasi dan sudah memenuhi prosedur serta tahapan. Hal ini dikemukakan sudah tidak terjadi adanya kesimpangsiuran bagi masyarakat,” pungkasnya.
Pantauan Radar, acara sosialisasi tersebut juga tampak dijaga aparat kepolisisan Polres Majalengka dan Polsek Sumberjaya, serta unsur muspika lainnya. Sosialisasi itu juga kedua kalinya sebelum digelar di Kecamatan Jatiwangi di hari yang sama. (ono)
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar