Jakarta - 13 Tahun sudah reformasi berlalu dan terus bergulir. Salah satu tuntutan orde reformasi adalah pembaruan reformasi hukum. Namun, setelah 13 tahun berlalu, apakah hukum telah mereformasi diri?
Sebagai tanda reformasi hukum yaitu diubahnya criminal justice system yang selama ini dipegang 3 institusi yaitu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Selain itu, reformasi juga memunculkan tata perundang-undangan baru yang diikuti tata pola masyarakat hukum yang ikut berubah pula.
Dari titik inilah, penulis mencoba menganalisa seberapa jauh progres reformasi hukum selama 13 tahun terakhir.
Pertama, reformasi memunculkan lembaga semiyudisial. Lembaga ini seakan-akan berperan sebagai pengadilan ad hoc tetapi nyatanya bukan pengadilan. Di lembaga ini diberikan wewenang mengadili namun tidak pro-yustisia. Sehingga putusannya pun menjadi mentah. Alih-alih memotong alur yudisial, malah lembaga semi-yudisial ini menambah panjang alur yudisial.
Contoh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Komisi Informasi Publik (KIP). Dalam contoh di atas, alur yudisial yang seharusnya lewat 3 tingkatan yaitu pengadilan pertama, banding dan kasasi (untuk sengketa KPPU tidak mengenal banding), pasca reformasi ditambah 1 alur yaitu lembaga semi-yudisial tersebut. Fuih, jalur yang sangat panjang guna mencari keadilan.
Kedua, reformasi memunculkan lembaga semi-penyidik. Seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Disebut sebagai semi penyidik karena hasil temuannya bukan sebagai pro justisia. Alih-alih memotong jalur penyidikan yang selama ini dinilai tumpul, alur ini akhirnya memberikan harapan semu kepada masyarakat.
Ketiga, reformasi secara khusus juga membuat lembaga super penyidik yaitu KPK. Lewat kekuasannya, KPK mempunyai kewenangan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Jalur reguler yaitu kepolisian-kejaksaan langsung dipotong kompas. Karena kesuperannya itu, maka tidak ada yang bisa membendung saat KPK menjerat penerima suap tapi tidak menjerat penyuapnya. Penadah didakwa, tapi malingnya dibiarkan lepas.
Keempat, munculnya pengadilan-pengadilan khusus. Seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hubungan Industrial. Dari 5 pengadilan khusus tersebut, Pengadilan Niaga mungkin yang paling efektif berjalan. Sedangkan untuk Pengadilan HAM, selama 13 tahun reformasi hanya bersidang 3 kali yaitu untuk Kasus Timor Timur, kasus Tanjung Priok dan Kasus Abepura.
Kelima, selain memecah kekuatan lembaga, reformasi juga menguatkan lembaga yudisial. Jika selama Orde Baru lembaga yudisial bernaung di bawah Depkum HAM (status kepegawaian hakim), di bawah Kementerian Agama (hakim pengadilan agama) dan di bawah TNI (hakim pengadilan militer), reformasi menyatukan semua hakim dibawah Mahkamah Agung (MA). Namun, penguatan ini menjadi susah dikontrol. Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas hakim juga tidak punya kewenangan ekstra mengontrol perilaku hakim. Alhasil, hanya Tuhan yang bisa mengontrol hakim.
Dalam sektor regulasi perundang-undangan, reformasi juga mendorong pembaruan peraturan. Namun, tidak sedikit peraturan yang melanggar peraturan yang lebih tinggi yaitu asas hukum.
Penulis mencoba memberikan keabsurdan perundangan tersebut, yaitu:
Pertama, absurd-nya konsep kekayaaan negara. Dalam kacamata UU Tipikor, kekayaan negara adalah semua bentuk keuangan negara. Keuangan negara ini bisa di dapati di lembaga negara hingga Perseroan Terbatas (PT) BUMN. Namun, hal ini malah melanggar asas hukum yang dianut UU PT. Karena dalam paradigma PT, saham yang telah disetorkan menjadi hak privat.
Contoh, KPK menjerat mantan Dirut PT PLN dengan delik korupsi, namun kepolisian tidak memberlakukan hal serupa pada Direktur Keuangan Elnusa dalam kasus hilangnya kekayaan negara Rp 110 Miliar.
Jika menggunakan logika KPK, maka kasus pailit PT Istaka Karya tidak terjadi. Namun yang terjadi, MA telah mempailitkan PT Istaka Karya yang berarti asset PT BUMN ini bisa disita karena bukan kekayaan negara (kalau asset PT BUMN bukan asset negara, semua permasalahn hukum dibawah PT BUMN adalah delik pidana biasa).
Dualisme gagasan inilah yang tidak kunjung berakhir. Namun karena dualisme inilah yang menjadikan runyamnya dunia hukum dan menyeret siapa saja yang bersentuhan dengan "keuangan negara".
Kedua, regulasi memberikan kewenangan setengah hati untuk beberapa komisi seperti Komnas HAM dan KY. Hasil temuan Komnas HAM harus disensor DPR dan Jaksa Agung untuk bisa diteruskan ke pengadilan. Sedangkan KY, regulasi memberikan kewenangan yang sangat sempit sehingga tidak bisa bebas mengawasi hakim. Ibarat kata, KY berpistol tapi pelurunya dipegang DPR.
Ketiga, KUHAP menyamaratakan semua kasus sehingga semua perkara bisa maju ke tingkat kasasi (pembatasan hanya berlaku untuk Tindak Pidana Ringan). Alhasil, MA kebanjiran perkara. Dalam satu tahun, sedikitnya ada 13 ribu perkara yang masuk. Dari orang melempar asbak hingga berebut cangkul.
Dengan banyaknya kasus tersebut, kualitas putusan pun menjadi pertanyaan.
Keempat, gagalnya menyeret pelaku pelanggaran HAM berat karena mensyaratkan adanya tindakan sistematis, terstruktir dan masif. Bahasa politik ini menjadi mentah ketika harus diterjemahkan dalam bahasa hukum di muka pengadilan.
Yang terakhir, reformasi memunculkan budaya hukum baru. Disadari atau tidak, masyarakat telah mempolarisasi diri menjadi kekuatan-kekuatan yang sadar hukum. Muncullah trend Class Action dan Citizen Lawsuit. Sayang, antusiasme kesadaran hukum masyarakat tidak diimbangi dengan kepatuhan hukum oleh pemerintah.
Lihatlah kasus putusan UN, putusan susu formula berbakteri hingga kasus putusan MK tentang status Jaksa Agung. Dua yang pertama, pemerintah tetap bergeming dan tidak mau mematuhi putusan hakim. Sedangkan contoh yang ketiga, pemerintah bertekuk lutut setelah di dorong berbagai pihak, bukan kesadaran sendiri.
Dari pemetaan diatas, 13 tahun reformasi memang membuat sebuah perubahan tetapi hanya ditingkatan prosedur adsminstrasi. Namun, substansi reformasi jauh dari harapan. Jurang kemiskinan masih tinggi (contoh bagi KPPU yang tidak bisa menyelesaikan) dan keadilan bagi masyarakat miskin tidak terjembatani (contoh PR bagi Komnas HAM).
Namun, bukan berarti reformasi harus mundur. Refleksi 13 tahun harus mempolarisasikan kembali sektor-sektor kekuatan rakyat untuk menuju cita-cita Pancasila.
*) Andi Saputra adalah wartwan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
(asp/vit)
sumber :
http://www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar