Jembatan Layang Bukan Solusi
KERUK URUKAN : Sejumlah alat berat dikerahkan untuk mengeruk urukan tanah di jalur tol Semarang - Ungaran, ruas Gedawang-Penggaron pada stasiun 5,5 yang rusak akibat pergerakan tanah. Langkah itu dilakukan sebagai upaya mengurangi beban tanah.(30)
SEMARANG- Meski mendapat kritikan dari berbagai pihak, PT Trans Marga Jateng (TMJ) meyakini problem pergerakan tanah di lapisan bawah jalan tol Semarang-Solo pada penggalan Gedawang-Penggaron dapat diatasi dengan pengurangan ketebalan urukan.
Komisaris PT TMJ Danang Atmodjo mengatakan, dengan cara tersebut diharapkan tidak terjadi pergeseran lagi.
"Soal tol, kami sudah membicarakan hal tersebut dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan hingga kini masih berlanjut. Intinya, langkah yang diambil untuk mengatasi permasalahan retak dan amblesnya jalan tol yakni dengan cara mengurangi ketinggian urukan. Nanti ketinggiannya akan dikurangi sekitar 3 meter," jelasnya di Kantor Gubernur, Kamis (10/3).
Danang menerangkan, permasalahan yang terjadi di stasiun 5+500 hingga 5+700 ruas Gedawang-Penggaron itu lantaran daerah tersebut terimbas oleh curah hujan, sehingga kandungan air di dalam tanah menjadi tinggi dan mengganggu keseimbangan tanah di bawah jalan.
Menyangkut masukan-masukan serta kritikan-kritikan dari anggota DPRD Jateng serta para pakar sipil dan pakar geologi, antara lain saran pengalihan rute jalan atau perubahan struktur konstruksi,Danang mengatakan, hal itu boleh-boleh saja. Dia mengharapkan, dengan langkah yang diambilnya, tanah di bawah tol akan secepatnya kering dari air dan kestabilannya akan kembali baik.
"Pengerjaannya sekitar tiga minggu sesuai yang kami harapkan. Semoga tidak molor. Kami juga akan hati-hati, karena setelah dikeruk akan dipadatkan kembali, sekalian nanti akan dipasang inklinometer di tiga titik untuk mengecek gerakan tanah," jelasnya.
Seperti diberitakan, sejumlah anggota DPRD Jateng menyarankan agar TMJ mengubah kebijakannya dengan menggunakan jembatan layang guna menghindari area tanah labil bekas lahan Perhutani yang sekarang kondisinya rusak pada stasiun 5+500 hingga 5+700 tersebut.
Namun para pakar menilai hal itu bukan solusi yang tepat. Kalaupun diterapkan, akan sia-sia selama pergerakan tanah belum teratasi.
Formasi Kerek
Pakar Teknik Geologi Undip Dwiyanto dan pakar Teknik Sipil Undip Robert Kodoatie, meski berbeda pendapat tentang teknik bore pile dan grouting, keduanya sama-sama menilai jembatan layang tidak akan berguna.
Dwiyanto menjelaskan, jika jembatan layang dibuat namun pergerakan tanah di bawah jalan tidak ditanggulangi, kondisi jalan tol itu tetap berbahaya.
"Pakai jembatan layang pun kalau fondasi jembatan masih di atas tanah yang bergerak ya bisa-bisa jalan layangnya nanti malah ‘'jalan-jalan''.
Apakah mau diuruk atau dipasang jembatan layang, prinsipnya gerakan tanah harus dihentikan dulu. Teknik bore pile sebagaimana dilakukan sekarang merupakan salah upaya menghentikan gerakan tanah secara menyeluruh," katanya.
Dwiyanto berpandangan, rekayasa teknologi masih mampu mengatasi masalah tersebut. Teknik grouting merupakan pilihan tepat. Tetapi karena teknik itu belum populer, pelaksana proyek semestinya melakukan studi banding lebih dahulu ke lokasi-lokasi longsor berat yang memiliki bangunan di atasnya.
Robert Kodoatie berpendapat, apabila jembatan layang hendak diterapkan, maka jembatan itu tidak boleh berdiri di atas formasi kerek (lapisan batu lempung). Saat ini, jalan tol ruas Gedawang-Penggaron telah melewati formasi kerek yang kondisinya miring. Lapisan batu lempung itu merupakan lapisan yang kedap air. Akibat kondisinya miring, maka situasinya ibarat permukaan meja miring yang disiram air.
"Formasi kerek tidak akan ada masalah jika kondisinya tidak miring, atau tidak retak. Kalau sampai retak, ia akan jadi serpihan kecil-kecil. Karena itu saya berpendapat, formasi kerek harus dihindari jika mau mengutamakan keselamatan pengguna jalan. Satu-satunya jalan ialah pindah rute. Kalau mau dipaksakan lewat situ, bisa saja sekarang aman, tapi tidak tahu beberapa waktu mendatang," katanya.
Ia berpandangan, baik teknik bore pile maupun grouting sama-sama belum dapat mengatasi persoalan. Menurutnya, kedalaman grouting sangat terbatas, sulit untuk menjangkau kedalaman di atas 30 meter. Sementara struktur tanah di jalan tol tersebut, sampai kedalaman 200 meter di atas permukaan batu lempung merupakan longsoran, sedangkan ketebalan batu lempungnya 400 meter.
"Kalau rutenya tetap, maka untuk menghindari formasi kerek itu harus dibuat bore pile atau grouting sampai kedalaman di atas 600 meter dan hal itu jelas mustahil secara teknik sipil. Grouting dilakukan untuk memperkuat tanah lembek jadi kuat, tapi masalah ini bukan soal fondasi lagi, namun sudah menyangkut kondisi alam yang tidak mampu dilawan manusia. Teknik sipil jelas beda dari pengeboran minyak yang bisa menembus kedalaman 1.000 meter lebih," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar