javascript:void(0)

your direction from here


View tol semarang ungaran in a larger map
happy chinese New Year 2021

cari di blog ini

Minggu, 15 Agustus 2010

Saling Lempar Tanggung Jawab

Antara TPT dan Bank Mandiri


* Kejati Harus Bertindak

SEMARANG - Antara Tim Pembebasan Tanah (TPT) Tol Semarang-Solo dan Bank Mandiri, saling lempar tanggung jawab dalam permasalahan overbooking pembelian tanah 99 warga Desa Jatirunggo Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang seluas 27,8 ha.

Ketua TPT Tol Semarang-Solo Suyoto bergeming. Alasannya, TPT hanya memerintahkan Bank Mandiri memindahbukukan ke warga, bukan memerintahkan overbooking sehingga mengakibatkan pemindahbukuan dari rekening warga penerima ganti untung ke sejumlah rekening orang lain lagi.

Apakah tahu ada aplikasi overbooking Bank Mandiri dari warga ke broker? “Itu ranahnya bank. Saya kan tidak boleh liat di dalamnya.”

Sementara, Vice President Regional VII Semarang Bank Mandiri, Arnold, mengatakan, langkah overbooking yang dilakukan bank bukan dalam konteks siapa yang mengisi dan siapa yang diisi. Dalam overbooking, bank hanya bertindak sejauh perintahnya valid, maka pihaknya dapat melakukan transaksi.

Bank Mandiri, katanya, dalam hal tersebut telah mendapat instruksi dari nasabah untuk overbooking. Data mereka itu valid.
Sampai sekarang, pihaknya masih confident melakukan langkah yang sesuai prosedur. Ia mengaku, Bank Mandiri pun sudah melakukan asas kehati-hatian, dengan memverifikasi sejumlah dokumen sebelum overbooking.

“Perlu diingat, dalam hal ini bank hanya bertugas melakukan transaksi. Sejauh instruksinya itu valid, instruksi itu dijalankan.”

Berkenaan pernyataan anggota Komisi D DPRD Jateng yang menudingnya berbohong karena merasa tak tahu tanah 99 warga desa itu sudah dibrokerkan, sementara Kades Jatirunggo Indra Wahyudin telah menginformasikan pembrokeran tersebut ke TPT, Suyoto akhirnya mengakui kalau dirinya pernah mendengar masalah broker itu.

Tetapi, ia menegaskan, dirinya hanya sebatas mendengar saja. “Masalahnya saya hanya mendengar. Mendengar kan boleh. Tapi benar tidaknya kan harus dibuktikan. Ini bukti yang ditunjukkan warga, tanah itu masih milik mereka masing-masing.

Yang penting, saya melanjutkan proses itu sesuai prosedur yang benar. Kecuali kalau saya bermusyawarah dengan broker, nah itu tidak benar,” kata dia kepada Suara Merdeka.
Menyangkut pembayaran yang seharusnya diberikan kepada pemilik terakhir dan ternyata broker, dia menegaskan, pemilik terakhir bukan broker, tapi masing-masing (warga), belum ada balik nama.

‘’Kalau tidak ada buktinya (milik broker, red), saya harus bayar ke mana? Kalau mau membayar ke broker kan tidak bisa. Makanya ketika terjadi overbooking, saya tidak tahu, sehingga tetap saya bayar ke pemilik langsung.”

Soal fakta dalam proses jual beli dari warga ke broker itu ada pencatatan di notaris Wahyu Wibawa SH, Suyoto mengaku, tidak tahu. ‘’Yang ada adalah pencatatan notaris pelepasan hak dari warga kepada pemerintah.”

Desain Besar

Ketua Komisi D DPRD Jateng Rukma Setia Budi mengatakan, masih ada satu hal yang belum terungkap dari forum audiensi. Yakni, tentang bagaimana mungkin warga mengisi aplikasi overbooking Bank Mandiri tersebut. Seharusnya, kata dia, pembayaran jual beli itu cukup dengan aplikasi pemindahbukuan dari pemerintah ke warga, bukan overbooking.

“Mestinya kan begitu. Aplikasinya cukup transfer saja, atau aplikasi pemindahbukuan dari pemerintah kepada 99 warga. Masalah setelah itu warga berurusan harga dengan broker, urusan nanti. Tapi ini kan warga diberikan aplikasi overbooking yang sepertinya warga tidak tahu apa akibat yang akan mereka tanggung setelah pengisian aplikasi tersebut. Saya yakin ini ada desain besar oleh orang-orang cerdas di balik peristiwa ini,” katanya.

Faktanya, kata dia, dalam kasus itu ada transfer ke warga dengan ganti untung Rp 50 ribu/m2. Tetapi sehari kemudian langsung ada pemindahbukuan dari rekening warga ke sejumlah rekening broker dan spekulan.
“Alasan pihak Bank Mandiri seperti itu, tapi TPT mengaku tidak memerintahkan pemindahbukuan rekening warga ke rekening broker. Tapi namanya overbooking itu kan dua kali transfer, makanya terjadi masalah ini. Ini aneh,” ujar politisi PDIP itu.

Rukma mengatakan, Dewan akan mencari data dan informasi langsung dari warga. Jika memang nantinya warga berkeinginan menempuh ke jalur hukum, Komisi D bersedia mendampinginya untuk membuat delik aduan.

Terpisah, Presidium Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, pada masa Orde Baru dulu, kasus overbooking sejenis telah terjadi di Boyolali. Waktu itu menganggap itu sebagai tindak pidana korupsi.

“Bagaimanapun, negara dalam hal ini kan rugi, masyarakat juga rugi. Pembayaran pembelian tanah warga dengan mendasarkan appraisal itu boleh-boleh saja. Namun appraisal pun kan ada harga minimal dan harga maksimalnya. Pembayaran kan tidak harus maksimal, di bawah maksimal pun kan bisa.

Negara sudah membayar Rp 50 ribu/m2, sementara sebetulnya negara bisa saja membayar Rp 20 ribu/m2.”
Sebab itu, tandas Boyamin, Kejaksaan Tinggi harus meneruskan pengusutan kasus ini untuk memproses korupsinya. Bukan hanya sekadar menyelamatkan duit negara atau mengecek duit itu sudah sampai ke masyarakat atau belum.

“Ini kan ada selisih Rp 30 ribu/m2 dalam pembelian lahan 27,8 hektare. Berarti jelas negara dirugikan. Terus terang saya curiga, dalam proses ini ada permainan oknum TPT dan pejabat bank.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar