javascript:void(0)

your direction from here


View tol semarang ungaran in a larger map
happy chinese New Year 2021

cari di blog ini

Minggu, 22 Juli 2012

Orang-orang Berduit di Balik Tanah Jatirunggo

Yunantyo Adi S

PENGADAAN tanah lahan pengganti hutan yang terkena proyek tol Semarang-Solo bukan hanya menjadi cerita turun-temurun bagi anak-cucu warga Desa Jatirunggo Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, juga akan menjadi lembaran sejarah pemberantasan korupsi di Jawa Tengah.

Kelak, saat orang menilik riwayat jalan tol yang barangkali sudah menjadi sokongan transportasi bagi roda ekonomi di provinsi ini, maka lembaran sejarah tanah Jatirunggo tersebut jelas akan sulit dihapus.

Persoalan pengadaan tanah itu muncul ketika negara tidak langsung berurusan dengan warga pemilik tanah di Desa Jatirunggo, melainkan spekulan tanah dan broker yang masuk terlebih dulu, satu tahun lebih sebelum Tim Pengadaan Tanah (TPT) Tol Semarang-Solo mengurusnya.

Tapi karena kekurangan modal, broker akhirnya melibatkan orang-orang berduit untuk membeli, sebelum akhirnya tanah warga itu dibeli TPT. Sejumlah nama yang muncul di antaranya Anis Nugroho, seorang pengusaha yang pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota Semarang, beserta Koperasi Lintas Karya Bersama yang diketuainya. Ada juga Fadiah Moegiono, seorang notaris asal Batang, istri mantan anggota MPR yang juga seorang pengacara, Moegiono.

Tulisan ini akan mengurai cerita pengadaan tanah di Jatirunggo dan mengungkap jejak dan peran orang-orang berduit yang “turut serta melakukan perbuatan” atau “sengaja memberi bantuan/sarana pada waktu kejahatan dilakukan”, baik sebelum dan sesudah TPT masuk ke Desa Jatirunggo, hingga akhirnya berlanjut pada proses penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Jateng dan perkara itu ditampung pengadilan.

Dua orang telah berstatus sebagai buronan kejaksaan dalam masalah ini, yakni Any Utaminingsih, mantan kepala Kantor Bank Mandiri Cabang Pembantu Undip Tembalang Kota Semarang dan Indra Wahyudi, mantan kepala Desa Jatirunggo. Berkenaan hal itu, keterangan dari keduanya –karena dirasa penting, terpaksa mengutip dari keterangan mereka terhadap penyidik yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan.

Saat karya ini ditulis, pembangunan jalan tol Semarang-Solo sepanjang 75 km yang direncanakan menelan biaya Rp6 triliun itu, masih berproses. Pembangunan sesi I yang dimulai dari Kecamatan Tembalang Kota Semarang hingga Kota Ungaran Kabupaten Semarang sepanjang 14,1 km, telah diresmikan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto pada 12 November 2011. Sedangkan ruas Ungaran-Bawen (masih wilayah Kabupaten Semarang), masih proses pembebasan tanah yang belum selesai. Demikian juga dengaan pembebasan tanah ruas yang lainnya.

Jalan tol Semarang-Solo yang terdiri dari lima seksi itu, diperkirakan baru akan selesai tahun 2014. Semula diperkirakan akan selesai tahun 2012, namun kenyataannya meleset.

1    Seksi 1 (Tembalang – Ungaran)             16.3 km
2    Seksi 2 (Ungaran – Bawen)                    13.33 km
3    Seksi 3 (Bawen – Salatiga)                     18.2 km
4    Seksi 4 (Salatiga – Boyolali)                   22.4 km
5    Seksi 5 (Boyolali – Karanganyar)           11.1 km


Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 6,1 triliun, biaya konstruksi Rp 2,4 triliun, dan biaya pengadaan tanah Rp 800 miliar rupiah.

Menabrak Lahan Hutan

Semua bermula dari pengadaan tanah yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Direktorat Jendral Bina Marga, yang menabrak lokasi tanah kawasan hutan negara milik Kementerian Kehutanan yang dikelola Perum Perhutani Unit I Jateng, seluas 22,4 hektar yang ada di Penggaron, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Untuk menggunakan tanah kawasan hutan itu, Kementerian PU mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan tanggal 9 Desember 2008, dengan syarat, Menteri PU wajib menyediakan lahan pengganti kawasan hutan kepada Kemenhut seluas 22,8 ha sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam pakai, yang harus diserahkan dalam kondisi clear and clean.

Yang dimaksud clear and clean adalah, kondisi calon lahan pengganti hutan itu jelas statusnya, tidak bersengketa, tidak dalam pengausaan pihak lain, dan tidak dibebani hak atas tanah tertentu, serta tidak dikelola pihak lain.

Nah, untuk menyediakan lahan pengganti hutan yang terkena proyek tol itu, Kementerian PU melalui Tim Pengadaan Tanah (TPT) Ruas Tol Semarang-Solo Wilayah II, telah mengusulkan 15 lokasi tanah untuk diteliti kelayakannya. Selanjutnya sejak bulan Mei 2008 dilakukan pemeriksaan lapangan dan penilaian teknis calon lahan kompensasi yang dilakukan TPT di bawah koordinasi Dinas Kehutanan Jawa Tengah.

Berikutnya, Menteri Kehutanan menyetujui calon lahan pengganti seluas 44,8 ha yang terletak di dua tempat. Lokasi pertama adalah di Desa Mluweh, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang seluas 17,8 ha. Sedangkan lokasi kedua di Desa Jatirunggo, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang seluas 26,9 ha.

Izin prinsip teresebut selanjutnya diteruskan Kementerian PU ke TPT Tol Semarang-Solo guna dijadikan dasar pengadaan tanah, dan telah digambarkan dalam peta lokasi tanah. Adapun sumber dana pengadaan tanah tersebut berasal dari dana talangan PT Trans Marga Jateng (TMJ), sebuah perusahaan patungan antara PT Jasa Marga dan sebuah BUMD, PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPMJ).

Broker Mengincar


Seiring adanya rencana pengadaan tanah tersebut, dua orang warga Jakarta Selatan, Agus Sukmaniharto dan Hamid Segeir, mencoba menguasai terlebih dulu tanah-tanah milik 99 warga Desa Jatirunggo, sebelum TPT masuk.

Hamid adalah sang jutawan, sedang Agus lebih banyak berperan sebagai broker. Untuk melakukan aksinya yang dimulai pada tahun 2008, Agus dan Hamid merangkul Kepala Desa Jatirunggo, yang saat itu dijabat Indra Wahyudi.

Bagaimana kisah ini bermula, mari kita dengarkan hasil wawancara Hamid dan Agus Sukmaniharto yang disampaikan melalui penasehat hukumnya, Permana Adi SH, advokat yang berkedudukan di Semarang. Menurut Permana Adi, kliennya menyerahkan sepenuhnya kepada dia untuk menjawab pertanyaan.

Versi Hamid menyebutkan, bermula pada Februari 2008, dirinya telah didatangi Agus Sukma, dokter Taufan Budi S, yang diantar Murdani.

Hamid yang kala itu berprofesi sebagai pemborong dijumpai di PT Bumi Harapan Abadi yang berkedudukan di Jl TB Simatupang, Jakarta Timur, Gedung Nariba II Ruang R-01. Perusahaan ini pada akhir 2008 telah ditutup.

“Dokter Taufan itu dokter yang praktiknya di Cibubur, Jakarta. Dia itu dokter sukses dan kaya, dan saya baru tahu kalau ia ini rupanya suka bisnis-bisnis tanah. Kalau Murdani itu rekannya Agus Sukma, yang mengenalkan Agus ke saya,” ucap Hamid.

Dalam kesempatan itu Hamid ditawari bisnis lahan pengganti hutan yang terkena proyek tol. Pria ini diminta melakukan pendanaan yang diperkirakan selama 6 bulan sudah beres.

Ketika itu Agus Sukma sudah membawa data-data mengenai lahan kompensasi tersebut, bahkan data untuk lahan Jawa Barat dan Jawa Timur juga ada, data-data tersebut keterangan Agus Sukma kepada Hamid berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Tim Pengawasan Penyelesaian Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa pada Sekretariat Wakil Presiden yang diketuai Sunaryo Sumadji.

Untuk mengetahui kebenaran tersebut, Hamid lantas menemui Sunaryo Sumadji di Setwapres dengan diantar Agus Sukmaniharto dan Fernando. “Fernando itu kenalannya Agus, saya tidak tahu siapa dia pastinya,” ucap Hamid.

Dalam kesempatan itu Sunaryo membenarkan informasi yang disampaikan Agus Sukmaniharto dan kawan-kawan tersebut, dan meminta Hamid membantu pelaksanaannya, di mana untuk tanah tersebut diperlukan lahan yang tidak boleh terpecah-pecah dan harus dalam satu kesatuan –mengenai hal ini belum dapat dikonfirmasikan ke Sunaryo Sumadji.

Selanjutnya Hamid bersama Agus lantas pergi ke Semarang melihat lokasi dengan diantar Didik (orang Ungaran). Lokasi yang dilihat adalah tanah di Desa Jatirunggo, Desa Gondoriyo Kecamatan Bergas, Desa Mluweh Kecamatan Ungaran Timur, dan Desa Cindirejo Kecamatan Pringapus. Setelah melikasi lokasi-lokasi itu, Hamid merasa tertarik untuk menguasai tanah di Desa Jatirunggo.

Sekitar April 2008, Hamid datang lagi ke Semarang bersama Agus Sukmaniharto. Saat di Bandara A Yani, Hamid bertemu dengan Indra Wahyudi, di situ ada juga Deni (identitas orang ini belum diketahui). “Mungkin Deni itu broker tanah juga, saya tidak tahu,” katanya,

Dalam ketemuan di Bandara A Yani itu, Indra Wahyudi menawarkan tanah dengan memperlihatkan daftar pemilik tanah 68 orang seluas 21,464 ha yang tanahnya akan digunakan sebagai lahan pengganti hutan, berikut contoh bukti sertifikat dan leter C.

Setelah dilakukan pembicaraan, akhirnya Hamid setuju dan menyepakati harga tanah Rp 25 ribu/m2, rinciannya Rp 20 ribu/m2 untuk warga pemilik tanah dan Rp 5 ribu/m2 untuk tim desa. Selepas kesepakatan itu Hamid pulang ke Jakarta dan Agus Sukmaniharto masih di Semarang.

Menurut Sumiarti (36), istri Indra Wahyudi, yang dijumpai di kediamannya, suaminya dan perangkat desa mau terlibat mengurus tanah warga karena mempercayai Agus Sukma sebagai wakil pemerintah pusat. Sebab, Agus pernah memperlihatkan surat-surat keputusan sebagai orang Sekretariat Wakil Presiden dan memperlihatkan dokumen-dokumen jalan tol.

Sedangkan Hamid Segeir yang saat ini ditahan di Lapas Kedungpane, Semarang, saat dijumpai mengaku dirinya terlibat karena ajakan Agus Sukma. Ia tertarik karena dalam skenario Agus, mereka tidak perlu membeli tanah dari pemilik aslinya, namun hanya memodali perikatannya saja.

“Untuk apa saya membeli, saya saja tidak punya bisnis atau rumah di Semarang. Agus mendapatkan data-data itu dari situs internet Kementerian PU,” ucapnya.

Di pihak lain, versi Agus Sukmaniharto menyebutkan, pada bulan Mei 2008 dirinya dihubungi Murdani untuk menemui Hamid di kantornya. Dalam pertemuan, Hamid menginformasikan kalau di Semarang akan ada pengadaan tanah untuk pengganti lahan hutan milik Perhutani Unit I Jateng yang terkena proyek tol Semarang-Solo.

Hamid dalam kesempatan itu menyatakan kalau sanggup mengurus izin di Kementerian Kehutanan (waktu itu masih Departemen Kehutanan) dan Hamid bermaksud menguasai tanah yang dibutuhkan tersebut.

Berkenaan itu, Agus bersama dokter Taufan diminta Hamid pergi ke Semarang untuk mengetahui kebenaran informasi itu.

Di Semarang, Agus dan dokter Taufan mendatangi kantor Perhutani Unit I Jateng untuk menanyakan kebenaran adanya pencairan lahan untuk tanah pengganti hutan, yang saat itu bermemu dengan Tatag (orang Perhutani), dan oleh Tatag diminta menanyakan ke pihak TPT, akhirnya mereka berdua ini pun pergi ke TPT, bertemu dengan Heru Budi Prasetyo, ketua TPT waktu itu.

Pada pembicaraan yang dilakukan dengan ketua TPT, Heru membenarkan kalau TPT butuh tanah pengganti hutan yang terkena proyek tol, dan kalau berminat diminta untuk mengajukan tanah yang berlokasi di Desa Gondariyo dan Desa Beringin berikut data tanah, peta, luas lahan, tetapi setelah dilakukan survei lokasi tersebut tidak diterima.

Heru Budi Prasetyo dalam pemeriksaan penyidikan maupun di pengadilan mengakui kalau pada tahun 2008 ia pernah didatangi Agus Sukmaniharto yang menanyatakan apakah TPT membutuhkan tanah untuk lahan pengganti hutan, dan diterangkan kalau di Gondoriyo ada tanah, namun sejak itu Heru tidak pernah dihubungi lagi oleh Agus.

Bersamaan dengan pengurusan tersebut, Agus Sukma lantas bertemu Didik yang menawarkan tanah yang berlokasi di Desa Jatirunggo. Informasi itu lantas diteruskan ke Hamid di Jakarta, dan disetujui.

Berikutnya selanjutnya diajak Hamid ke Semarang menemui Didik, pembicaraan dilakukan di Rumah Makan Timlo Solo, Ungaran, yang pada waktu itu dihadiri Indra Wahyudi, Didik, serta Deni dan kawan-kawan.

Dalam pembicaraan Indra menawarkan tanah warga Desa Jatirunggo yang berbatasan dengan lahan Perhutani seluas 50 ha di Blok B, yang dianggap layak untuk dijadikan sebagai tanah pengganti hutan.

Atas penawaran tersebut Hamid lantas meminta data tanah, kepemilikan tanah, peta lokasi, selanjutnya selang beberapa waktu kemudian Indra Wahyudi menyerahkan data-data tersebut ke Hamid, tetapi Hamid minta surat kuasa. Data-data tersebut selanjutnya dipergunakan Hamid dan Agus Sukmaniharto diajukan ke TPT.

Masih menurut versi Agus Sukma, saat menyerahkan surat kuasa pada bulan Juli 2008 di Hotel Agro Putro Ungaran, telah dilakukan pembicaraan antara Indra Wahyudi dan Hamid mengenai harga tanah yang ditawarkan.

Dalam pembicaraan itu telah ada kesepakatan harga tanah sebesar Rp 25 ribu/m2 dengan rincian Rp 20 ribu/m2 untuk pemilik tanah dan Rp 5 ribu/m2 untuk tim desa.

Selain itu Hamid, dalam pembicaraan meski telah disepakati harga segitu, tetapi Hamid meminta supaya nanti harga tanah seolah ditawarkan Rp 50 ribu/m2 dan meminta dicantumkan dalam surat kuasa, yang akhirnya Indra Wahyudi memperbaiki surat kuasanya dengan surat kuasa tertanggal 11 Juli 2008.

Isi surat kuasa baru ini mencantumkan harga tanah yang ditawarkan Rp 50 ribu/m2, dengan dibuat seolah ketua Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Desa Jatirunggo –diwakili Bambang Hadi Pramono— memberikan kuasa kepada Agus Sukmaniharto dan atas nama dokter Taufan Budi S, yang ditandatangani Hamid sendiri.

Setelah data-data tanah Desa Jatirunggo diserahkan ke TPT, berikutnya dilakukan survei oleh TPT dan Perhutani dengan dihadiri Hamid, Agus Sukmaniharto, dan perangkat desa.

Sekitar Agustus 2008, kepala Desa Jatirunggo memberitahu Agus Sukmaniharto kalau tanah yang diajukan telah disetujui tetapi hanya seluas 21,464 ha milik 68 warga.

Seterusnya kepala desa meminta Hamid untuk menguasai tanah yang akan dibebaskan terlebih dulu, karena kalau tidak dikuasai, Indra Wahyudi tidak bertanggung jawab atas kesatuan lahan tersebut.

Akhirnya, tanggal 30 Agustus 2008 Hamid memberikan tanda jadi melalui Indra Wahyudi kepada 68 pemilik tanah, masing-masing sebesar Rp 1 juta, sehingga totalnya Rp 68 juta.

Indra Wahyudi juga meminta Hamid memberi uang muka kepada warga, kemudian pada 11 September 2008 Hamid menyerahkan uang muka sebesar lima persen dari harga pokok atau senilai Rp 215 juta untuk 68 orang, yang uangnya telah diterima Indra Wahyudi, selanjutnya ditindaklanjuti dengan transaksi di hadapan Notaris Wahyu Wibawa SH di rumah Indra Wahyudi yang berlokasi di Dusun Kebonsari Desa Jatirunggo –versi lain menyebut bertempat di Balai Desa Jatirunggo, dengan membuat surat kuasa.

Adapun surat kuasa tanggal 11 September 2008 dari masing-masing warga sebanyak 68 orang, isinya masing-masing pemilik tanah memberikan kuasa jual kepada Hamid.

Kemudian Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 12 September 2008 antara Hamid dengan masing-masing pemilik tanah, dengan pembayaran baru uang muka lima persen. Hamid ketika itu pun meminta bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat dan leter C.

Isi perjanjian warga dengan Hamid saat itu adalah: Pertama, Hamid selaku pembeli tanah akan melunasi tanah dalam jangka waktu tiga bulan sejak ditandatanganinya perjanjian jual beli. Kedua, bila pelunasan lebih dari tiga bulan, maka Hamid selaku pembeli tanah sanggup membayar uang denda keterlambatan setiap bulannya sebesar 0,8 persen dari harga jual. Ketiga, bila dalam jangka waktu 12 bulan kekurangan pembayaran tidak dilunasi, maka para pihak sepakat dan setuju perjanjian jual beli tanah batal demi hukum, dan segala pembayaran yang telah diterima penjual dari pembeli sepenuhnya menjadi hak penjual.

Kenyataannya, hingga satu tahun sejak perjanjian itu, Hamid yang mengaku sudah mengeluarkan uang Rp318 juta itu tidak bisa membayar lunas 68 bidang tanah tersebut. Padahal, total dana yang dibutuhkan untuk membeli 68 bidang tanah itu adalah Rp 4,2 miliar, sementara Hamid sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk membeli. Dan semestinya perjanjian kedua belah pihak itu otomatis sudah batal demi hukum, namun ternyata cerita petualangan Hamid, Agus Sukmaniharto, dan Indra Wahyudi belum tamat.

Masuknya TPT

Setahun kemudian, sekitar pertengahan September 2009, Suyoto selaku ketua TPT Tol Semarang-Solo, mulai melakukan pengadaan tanah di Desa Jatirunggo. Seperti halnya Agus dan Hamid, Suyoto pun mendatangi Kepala Desa Indra Wahyudi, dengan tujuan mendapatkan 99 bidang tanah seluas 27,8 ha.

Tentu saja, dari 99 bidang tanah tersebut, 68 di antaranya (seluas 21,4 ha) adalah bidang-bidang yang pernah dikuasai kelompok Hamid dan Agus.

Meski Hamid tak lagi berhak atas 68 bidang tanah itu, karena perjanjiannya dengan warga telah batal, Agus Sukmaniharto tak kehiangan akal. Bersama Indra Wahyudi, ia telah mengkondisikan Suyoto, agar 68 bidang tanah tersebut menjadi tanah yang akan dibebaskan sebagai lahan pengganti hutan.

Padahal, menurut Peta Bidang Tanah Nomor 66/2010 tanggal 21 Januari 2010 dari Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang, 68 bidang tanah yang pernah dikuasai Hamid tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan lokasi calon lahan pengganti yang ditetapkan Menhut tanggal 19 Maret 2009. Namun TPT tetap memroses pengadaan tersebut, yang dimulai dengan mengadakan sosialisasi terhadap warga Desa Jatirunggo, yang diselenggarakan pada 15 September 2009 di balai desa.

Indra Wahyudi sendiri –dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik Kejaksaan Tinggi Jateng tanggal 2 Mei 2011— mengakui:

“…lokasi tanah yang akan digunakan sebagai tanah kompensasi tidak sesuai yang ditetapkan Departemen Kehutanan, dan lokasinya tidak sesuai dengan tanah yang disurvei Perhutani pertama kali, di mana saat itu saya juga ikut mengantar pihak Perhutani melakukan survei…”

Anggota Dewan Pengawas Perhutani Sri Puryono saat diwawancara (Mei 2012) mengaku, pihaknya baru mengetahui adanya perubahan lokasi yang menyimpang dari lokasi yang ditentukan Menhut, ialah saat menghadiri siding kasus tanah Jatirunggo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.

“Tentang itu telah dilaporkan ke Menhut,” katanya.

Dia mengungkapkan, sampai sekarang, terhadap lahan pengganti hutan di Jatirunggo maupun di Desa Mluweh, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, pihak Kehutanan belum bersedia menerima karena beberapa alasan.

“Kepala Perhutani Unit I Jateng berkirim surat ke Kementerian PU guna menagih lahan pengganti itu. Itu adalah yang kesekian kalinya, sebab menagihnya sudah berkali-kali,” katanya.

Salah satu yang menjadi alasan lahan tersebut belum dapat diterima, kata Sri Puryono, karena ada pergeseran lokasi dari yang telah ditetapkan Menhut, yakni lahan yang berada di Desa Jatirunggo.

Broker Mencari Pendanaan

Tapi ketika itu, kelompok Agus-Hamid gigih mengkondisikan agar tanah tersebut masuk dalam paket 99 bidang lahan yang akan dibeli pemerintah. Hamid lalu meminta Agus Sukmaniharto mencari investor, untuk menutup kekurangan pembayaran terhadap warga agar tanah-tanah tersebut sepenuhnya dalam penguasaan mereka, untuk dijual lagi kepada TPT dengan harga lebih tinggi.

Singkat cerita, Hamid, Agus, dan Indra berhasil menghubungi Anis Nugroho, pengusaha Semarang yang pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota Semarang, namun gagal. Anis selanjutnya menunjuk Koperasi Lintas Karya Bersama yang ia ketuai untuk memberi pinjaman Rp2,56 miliar kepada Hamid, pada November 2009.

Dari pinjaman sebesar itu, yang untuk kepentingan pelunasan 68 bidang tanah warga adalah Rp 1,5 miliar, sedang yang Rp 1 miliar dipakai Hamid untuk menutupi operasional selama pengurusan tanah. “Kan untuk mengurus itu saya harus modal dulu seperti misalnya untuk hotelnya Agus Sukmaniharto kalau ke Semarang dan sebagainya, habisnya memang banyak itu,” ucap Hamid.

Selain Anis, Agus juga berhasil mendapatkan investor baru dari Solo, yakni Angga Saputra sebesar Rp2 miliar lebih.

Langkah gesit Agus terus menuai hasil. Berturut-turut ia mendapat pinjaman dari sejumlah orang seperti Wandiyana Rp 100 juta, Agus dan Indra Wahyudi berhasil mendapat pinjaman dari Triyoga Narpati Rp345 juta, kemudian Hamid mendapat tambahan pinjaman dari Deddy Sulistiyono Rp 500 juta. Selain itu juga ada pinjaman dari Agus Sukmaniharto ke Ary Anggraito dan Eka Yanuar Taruna yang belum jelas besarannya, yang terang akhirnya kedua orang ini mendapat pengembalian sebesar masing-masing Eka Yanuar Taruna Rp109,66 juta dan Ary Anggraito Rp166,99 juta.

Dalam perkembangannya, TPT dalam mempersiapkan lahan kompensasi di Desa Jatirunggo tersebut melakukan penambahan 5,7 ha, karena ada pengurangan luas lahan kompensasi di Desa Mluweh. Hamid tidak membayar atas penambahan lahan 5,7 ha ini, tetapi yang membayar adalah Fadiah Moegiono, notaries asal Batang, istri mantan anggota MPR.

Lalu siapakah para penyokong dana ini?

Wandiyana adalah bekas pegawai PDAM Tirta Modal, Kota Semarang. Investor Rp100 juta ini juga suami Any Utaminingsih, mantan Kepala Bank Mandiri Cabang Pembantu Kampus Universitas Diponegoro, Tembalang, Kota Semarang. Any sendiri belakangan juga menjadi tokoh penting dalam masalah tanah Jatirunggo ini.

Deddy Sulistitono adalah penduduk Kelurahan Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Hingga naskah ini diturunkan, profesi dan identitas lainnya belum jelas benar, meski telah ‘menyumbang’ Rp500 juta. Atas pinjaman itu Hamid telah mengembalikan Rp 400 juta, sisanya Rp 100 juta plus bunga yang dijanjikan, tidak terbayarkan.

Sedangkan Narpati Triyoga Rp 345 juta tercatat sebagai penduduk Jalan Udanriris I nomor 7, Tlogosari Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. Namun ketika dijumpai di alamat tersebut, penghuni rumah menyatakan tidak ada orang yang bernama Narpati Triyoga tinggal di situ. Pinjaman pokok ini berhasil dikembalikan pada Mei 2010, namun bunga yang dijanjikan tidak terwujud.

Angga Saputra tercatat di Kejaksaan Tinggi sebagai warga Asrama Yon Angkatan Darat RT 12 RW 10 Kelurahan Bungur Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Namun menurut Hamid, alamat tersebut tidak cocok. Angga yang dimaksud Hamid adalah seorang anak baru gede (ABG), putra seorang pengusaha dari Solo.

Sementara Ary Anggraito dan Eka Yanuar Taruna belum diketahui jelas identitas dan nilai investasinya. Keduanya juga tidak pernah diperiksa penyidik Kejaksaan Tinggi Jateng, tidak juga dihadirkan di pengadilan, ketika perkara tanah Jatirunggo ini diproses hukum.

Setelah uang terkumpul, dilakukanlah transaksi ulang dengan 68 pemilik tanah dengan harga Rp25 ribu per meter persegi, dengan rincian: Rp20 ribu untuk warga, dan Rp5 ribu untuk “Pemerintah Desa Jatirunggo”

Menurut Hamid, selain Anis Nugroho, Deddy Sulistiyono, dan Angga Saputra, dirinya tidak tahu siapa “orang-orang berduit” tersebut. Menurutnya, itu adalah kenalannya Agus Sukmaniharto. “Saya hanya bertemu dengan Anis Nugroho dan hanya memberi kuasa terhadap Angga saja. Lain-lainnya saya tidak paham,” ucapnya.

Tetapi menurut pengacara Agus, Permana Adi SH, semua tindakan Agus meminjam uang ialah atas kuasa dari Hamid.

Dari penjaman-pinjaman yang dilakukan Hamid dan Agus Sukmaniharto ke orang-orang kaya tersebut, kemudian telah dilakukan pelunasan terhadap 68 warga pada tanggal 28 April 2010. “Meski menurut perjanjian batal demi hukum karena sudah lewat setahun kekurangan pembayaran saya ke warga itu tidak terlunasi, namun kenyataannya ketika belakangan mau dilunasi, warga juga mau kok, gimana coba,” ujar Hamid.

Berdasarkan keterangan Agus Sukmaniharto ketika menjadi saksi perkara Hamid di pengadilan mengungkapkan, tetapi yang dibayarkan adalah kekurangan pembayaran harga pokok, mengenai hal-hal lain yang berkaitan dengan akibat perjanjian yang sudah “batal demi hukum” seperti denda keterlambatan, uang muka yang sudah menjadi hak penjual, belum dibayar. “Jadi kalau diperhitungkan sesuai perjanjian, pembayaran itu belum lunas,” kata Agus Sukmaniharto.

Lebih lanjut, Indra Wahyudi (BAP 17 Maret 2011) menegaskan, Hamid melakukan pembayaran lagi setelah perjanjian jual beli dengan 68 warga pemilik tanah batal demi hukum yakni:

1 Pembayaran mulai pertengahan bulan September 2009 sampai dengan Februari 2010, yang dilakukan oleh petugas dari Koperasi Lintas Karya Bersama dengan cara mengangsur sehingga 22 warga yang menerima pembayaran uang pokok sesui perjanjian awal belum dibayar mengenai denda dan lain-lain, sedang sisanya sebanyak 46 warga/bidang baru diberi sekitar 10% dari harga pokok.

2 Pembayaran kekurangan terhadap 46 warga/bidang tersebut dilakukan pada tanggal 28 April 2010 di rumah Trimargono Dusun Jatisari Desa Jatirunggo, pembayaran tersebut dilakukan Ahmad Muzaidi disaksikan bersama Agus Saputra dan kawannya, Angga Saputra.

Berita Acara Palsu

Dalam pelaksanaan pengadaan 99 bidang tanah tersebut, TPT menentukan sendiri harga ganti rugi tanah sebesar Rp 50 ribu meter persegi untuk yang sudah bersertifikat, dan Rp45 ribu untuk yang belum bersertifikat.

Padahal, dalam dokumen Berita Acara Musyawarah Kesepakatan Harga Tanah tanggal 26 Januari 2010, disebutkan pernah ada musyawarah untuk merembuk kesepakatan harga tanah dengan warga, dengan perhitungan keseluruhan biaya pembebasan tanah seluas 27,8 hektar sebesar Rp13,26 miliar.

TPT memang pernah mengadakan musyawarah harga dengan warga pada 26 November 2009 di Balai Desa Jatirunggo yang dihadiri unsur TPT, Camat Pringapus Satrio Eko Prabowo, Kepala Desa Jatirunggo Indra Wahyudi, dan warga yang tanahnya akan diganti rugi.

“Tapi dalam musyawarah tersebut warga mengajukan penawaran antara Rp65 ribu sampai Rp 150 ribu per meter. Namun dalam musyawarah tersebut tidak terjadi keputusan harga tanah, di mana TPT minta harga ganti rugi Rp 48 ribu, tetapi ditolak warga,” kata Indra Wahyudi ketika diperiksa penyidik, 16 Maret 2011. Dan menurutnya,”Setelah acara musyawarah harga tanggal 26 November 2009 tersebut tidak ada lagi acara musyawarah harga antara TP dengan warga Jatirunggo yang lahannya akan dibebaskan.”

Malah untuk menandatangani berita acara musyawarah itu, Ketua TPT Suyoto meminta Indra untuk meminta tanda tangan warga, yang belakangan ternyata dipalsukan. Indra Wahyudi menerangkan,”Suyoto menyuruh stafnya membuat surat pernyataan persetujuan harga, yang kemudian blangko kosong tersebut dibuat di balai desa oleh Ahmad Zubaidi (kepala Dusun Seneng Desa Jatirunggo), Kanan (staf TPT), bersama beberapa warga Desa Jatirunggo seperti M Suharto Siswoyo, Ismiati, Sri Haryani, dan Zubaidi.”

Lebih lanjut Indra menjelaskan:

“Setahu saya adanya penetapan ganti rugi Rp 50.000,-/meter persegi tersebut, bermula ada sebagian warga Jatirunggo sekitar 20 orang datang ke TPT yang dipimpin oleh mantan Kades Jatirunggo saudara Fauzan yang minta supaya dibayar, kemudian Suyoto telepon menghubungi saya menjelaskan kalau warga demo ke TPT dan Sayoto menerangkan kalau akan membayar tanah ganti rugi tersebutRp 50.000/meter…”

“…tanda tangan 99 warga pemilik tanah yang ada dalam Surat Pernyataan tersebut semuanya palsu karena warga pemilik tanah setelah tahu kejadian masalah ganti rugi ini, banyak yang menerangkan kalau mereka tidak pernah tanda tangan dalam Surat Pernyataan tersebut. Setahu saksi perangkat desa yang mengurusi pembuatan Surat Penyataan dan penandatanganan Surat Pernyataan tersebut adalah Ahmad Muzaidi.”

“Adapun yang menjadi inti dari pada isi Surat Pernyataan Persetujuan Harga Tanah tersebut antara lain: pemilik tanah menyatakan sepakat dan setuju tanah diganti dengan harga Rp 50.000/ meter persegi, dan setelah menerima pembayaran atas tanah tersebut bersedia dan sanggup menyerahkan bukti kepemilikan tanah, penyerahan hak tersebut di atas kepada Departemen Pekerjaan Umum melalui Tim Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Wilayah II. Surat pernyataan tersebut dibuat ada yang tanggal 21,22,23 Desember 2009.”

“…Suyoto selaku Ketua TPT tidak pernah melakukan klarifikasi kepada 99 warga pemilik tanah berkaitan dengan: status tanah, bukti alas hak, surat pernyataan yang dibuat kalau setuju ganti rugi Rp 50.000/meter persegi.”

Fakta mengenai berita acara palsu, tanda tangan palsu, dan tidak adanya musyawarah kesepakatan harga antara TPT dengan warga tersebut juga dikuatkan oleh Ahmad Muzaidi melalui kesaksiannya ke penyidik maupun di pengadilan. Muzaidi mengakui dirinyalah yang memalsu tanda tangan. Ia menerangkan:

“Bahwa tanda tangan 99 warga pemilik tanah yang ada dalam Surat Pernyataan (Surat Pernyataan Persetujuan Harga-Red) tersebut semuanya palsu karena tanda tangan warga pemiilik tanah tersebut saya sendiri yang menandatanganinya, hal itu saya lakukan sesuai petunjuk Kanan (staf TPT-Red), yang katanya untuk syarat administrasi saja, untuk melakukan bon uang, di mana bonnya tidak dijelaskan. Setelah Surat Pernyataan tersebut ditandatangani lalu dimintakan tanda tangan Pak Kades sebagai pihak yang mengetahui.” (BAP Muzaidi tanggal 18 Maret 2011).

Berita acara palsu itu lalu digunakan TPT untuk mengajukan permintaan dana talangan uang ganti rugi kepada PT TMJ pada 10 Februari 2010. Permintaan ganti rugi yang diajukan TPT adalah Rp13,26 miliar. Atas permohonan itu PT TMJ telah mengeluarkan cek nomor EQ 990656 tanggal 16 Februari 2010, senilai persis yang diminta Suyoto.

Pertemuan di Karaoke

Maret 2010, bertempat di Karaoke Inul, Jalan Thamrin, Semarang, ada pertemuan yang dihadiri Hamid Segeir, Agus Sukmaniharto, Kepala KCP Bank Mandiri waktu itu, Any Utaminingsih (sekarang buron), dan Kepala Desa Jatirunggo Indra Wahyudi. Pertemuan itu atas inisiatif Any Utaminingsih.

Setelah pertemuan itu, Agus dan Hamid mengetahui bila dana ganti rugi pengadaan tanah di Desa Jatirunggo sudah tersedia, dan pencairannya akan dilakukan TPT bekerja sama dengan Bank Mandiri KCP Undip Tembalang.

Selanjutnya, merasa pernah mempunyai perjanjian dengan 68 warga pemilik tanah –meski kemudian batal karena kedaluarsa— untuk mendapatkan dana ganti rugi yang dicairkan TPT tersebut, Agus dan Hamid meminta Any Utaminingsih, agar memindahbukukan (overbooking) dana ganti rugi yang akan dicairkan tersebut.

Karena pemindahbukuan itu akan dilakukan menggunakan buku tabungan Bank Mandiri atas nama pemilik tanah, dipersiapkanlah pengalihan dana tersebut dengan blanko kosong Surat Pernyataan Standing Instruction (SI). Dengan surat tersebut, pengalihan dana ganti rugi seolah telah dikuasakan oleh warga kepada kelompok Agus dan Hamid.

Rencana ini berjalan mulus. Pada 26 April 2010, Agus, Hamid, dan Indra menemui Any Utaminingsih di KCP Bank Mandiri Undip Tembalang menyerahkan beberapa blanko kosong SI yang ditandatangani Indra Wahyudi, serta diisi sendiri oleh Any Utaminingsih.

Sehari sebelum pencairan dana talangan Rp13,268 miliar yang akan dilakukan pada 29 April 2010, Suyoto bertemu dengan Agus dan Indra di restoran Hotel Plaza Semarang, memastikan agar masalah pelaksanaan pembayaran ganti rugi tidak ada masalah.

Setelah pertemuan tersebut, Agus memberitahu Hamid mengenai kepastian pelaksanaan pembayaran, dan malam itu juga Agus menemui Any Utaminingsih membicarakan lagi masalah pengalihan dana ganti rugi itu dan menyerahkan kekurangan blanko kosong Surat Pernyataan SI.

“SI itu saat diserahkan masih kosong untuk nama penerima dananya. Yang ada nama kuasa dan tanda tangan kuasa saja,” kata Permana Adi SH.

Any Utaminingsih dalam pemeriksaan penyidik tanggal 29 Nopember 2010 menjelaskan, sebelum penerimaan cek dari Suyoto, pihaknya menerima Standing Intruction (SI), akta notariil atau surat kuasa dari pihak lain berkaitan dengan pemabayaran ganti rugi dengan perincian berikut :
Tanggal 18 Februari 2010 menerima Surat Pernyataan dam Kuasa Notariil dari Hermansyah Denny Dwiyono General Maneger Koperasi Lintas Karya bersama dan Indra Wahyudi Kades Jatirunggo
Tanggal 26 April 2010 menerima Standing Intruction (SI), Akta Notariil dari Hamid, Agus Sukmaniharto dan Indra Wahyudi.
Tanggal 28 April 2010 menerima lagi berupa Standing Intruction (SI), Akta Notariil dari Agus Sukmaniharto. Di samping itu, Agus Sukmaniharto juga menceritakan kalau dalam masalah ini sudah bertemu dengan Suyoto bersama Indra Wahyudi, di mana Suyoto juga menanyakan kepada saudara Agus apakah masalah ini aman kalau dibayarkan dan saudara Agus menjawab aman.
Tanggal 28 April 2010 siang sekitar jam 12.00, menerima Surat Kuasa dan Akta Notariil dari Fadiah Moegiono, notaris di Jl Sudirman No 85 Batang.

Berkenaan dengan SI yang melibatkan Indra Wahyudi, yang bersangkutan (BAP, 2 Mei 2011) menerangkan:

“… berdasarkan barang bukti berupa satu bandel SI tersebut sebanyak 18 lembar tertanggal bulan Februari 2010 memang ada tanda tangan saya dan stempel asli, tetapi ketika saya tanda tangani SI tersebut yang tertulis hanya identitas warga pemilik tanah sedang mengenai isi berapa uang yang akan dipindahbukukan serta kemana uang dipindahbukukan masih kosong, sedang untuk SI sejumlah lebih kurang 48 lembar tertanggal 28 April 2010, saya tidak pernah menandatangani SI tersebut sebagai pihak yang mengetahui. Tanda tangan dengan atas nama saya dalam SI tersebut palsu, bukan tanda tangan saya, tetapi untuk stempelnya memang asli”.

“…SI sejumlah 48 lembar tertanggal 28 April 2010 merupakan SI yang diserahkan Ahamad Muzaidi kepada Agus Soekmaniharto di Hotel Plaza pada malam hari, dimana SI yang diserahkan tersebut setahu saya masih dalam keadaan kosong selain ada tanda tangan saya palsu dan stempel asli, ada juga tanda tangan warga.”

Pencairan Cek & Overbooking


Esok paginya, Suyoto datang ke Bank Mandiri untuk mencairkan cek tanggal 16 Februari 2010 senilai Rp13,26 miliar yang diserahkan kepada Any Utaminingsih. Suyoto dengan tanpa sepengetahuan 99 warga pemilik tanah, telah meminta kepada Any agar menerbitkan buku tabungan atas nama para pemilik tanah dan memasukkan dana ganti rugi sesuai daftar biaya ganti rugi yang dibuat TPT.

Tanggal 29 April 2010 itu juga, Agus dan Hamid menjumpai Any untuk merancang pengalihan dana ganti rugi yang besarnya ditentukan Agus dan Hamid.

Sementara itu, sepulang dari bank, Suyoto mengadakan pertemuan dengan pemilik tanah di Balai Desa Jatirunggo dengan agenda “pembayaran ganti rugi tanah” yang juga dihadiri Any Utaminingsih beserta staf dan notaris Wahyu Wibawa.

Dalam pertemuan itu para pemilik tanah diminta menandatangani bukti pembayaran ganti rugi tanah, akta pernyataan pengalihan hak atas tanah, dan specimen pembukuan buku tabungan Bank Mandiri yang tertulis nilai ganti ruginya. Selanjutnya, buku rekening Bank Mandiri itu langsung diserahkan kepada yang bersangkutan.

“… ketika warga bergantian menghadap ke meja Bank Mandiri, saya mendengar kalau petugas Bank Mandiri saudara Ani menjelaskan: Bapak/Ibu ini buku tabungan saya serahkan, uangnya dapat diambil sewaktu-waktu di Bank Mandiri,” kisah Indra Wahyudi ke penyidik, 17 Maret 2011.

Dari uang ganti rugi untuk 99 warga Desa Jatirunggo, ada yang dikembalikan ke PT TMJ atas nama Sukadi, karena tidak hadir. Jadi, yang ditransaksikan hari itu adalah dana ganti rugi untuk 98 warga sebesar Rp13,21 miliar, dipotong pajak penghasilan sehingga menjadi Rp12,626 miliar.

Tentu saja cerita selanjutnya mudah ditebak. Bak cerita sinetron, ketika para pemilik tanah akan mencairkan uang ganti rugi dalam buku tangungan itu, saldo mereka sudah lenyap, dan tersisa kurang dari Rp50 ribu saja.

Dana sebesar Rp13,26 miliar itu rupanya pada tanggal 30 April dan tanggal 4 Mei 2010 telah dipindahkan Bank Mandiri Cabang Pembantu Undip Tembalang ke delapan rekening. Para penerima aliran dana pemindahbukuan (overbooking) ini adalah Fadiah Moegiono (Rp2,3 miliar), Narpati Triyoga (Rp256,55 juta), Wandiyana (Rp688,82 juta), Eka Yanuar Taruna (Rp109,66 juta), Ary Agraito (Rp166,99 juta), Angga Saputra (Rp3,088 miliar), Agus Sukmaniharto (Rp3,025 miliar), dan sebanyak Rp 2,344 miliar mengalir ke Koperasi Lintas Karya Bersama yang diketuai Anis Nugroho. Mereka inilah orang-orang berduit yang berhasil digalang Agus dan Hamid ketika kekurangan dana untuk memborong tanah dari 68 warga.

Dana yang dibelokkan adalah milik 95 warga. Sedangkan tiga pemilik lainnya, yakni atas nama Sujito (Rp440,7 juta), M Siswoyo Suharto (Rp143,65 juta), dan Kasmin (Rp66,65 juta), nasibnya lebih baik. Setelah dikurangi pajak penghasilan, saldo mereka masih utuh di buku tabungan masing-masing.

Mengapa?

Sebab, ketiga orang ini tidak ikut menandatangani slip SI pemindahbukuan berbanko kosong yang disodorkan Bank Mandiri.

Menurut Kairul Anwar, penasehat hukum Suyoto, tugas TPT untuk membayar ganti rugi ke warga sudah selesai. Adapun masalah pemindahbukuan ke delapan rekening itu di luar sepengetahuan kliennya. “Tugas TPT adalah membayar ke warga, dan itu sudah dijalankan. Kalau kemudian ada masalah uang itu tidak sampai ke warga karena ada masalah overbooking, itu urusan internal bank, sudah tidak ada urusan dengan TPT,” ujarnya enteng.

Sebetulnya, kata Kairul, masalah overbooking itu tidak ada kaitan dengan TPT. Yang jadi masalah adalah, warga yang harusnya menerima uang tidak jadi menerima. “Kalau itu, masuknya domain mana? Kalau menurut pendapat saya, jelas itu domain perdata, dan itu menjadi urusan warga, bank, dan pihak-pihak lain yang bekerja sama dengan warga, karena warga menerima pembayaran dua kali,” katanya.

Namun menurut Any Utaminingih, overbooking itu sudah sepengetahuan dan sepersetujuan Suyoto. “Pemindahbukuan dana tersebut juga atas persetujuan dari Ketua TPT Suyoto sebelum dilakukan pembayaran,” ucap Any (BAP, 31 Mei 2011).

Lebih lanjut Any Utaminingsih menjelaskan:

“Adapun yang membuat dan mengisi 95 aplikasi slip pemindahbukuan (overbooking) adalah saya sendiri yang menulis isi dari 95 aplikasi pemindahbukuan mengenai: nama pengirim dana; nama penerima dana dan nomor rekening; dan nilai nominal dana yang akan dipindahbukukan. Pengisian tersebut saya lakukan pada malam harinya setelah acara tanggal 29 April 2010 dan untuk pengisian slip pemindahbukuan tersebut tidak pernah dilakukan klarifikasi dengan warga atau pihak terkait, karena sudah dikonfirmasi dengan notaris Wahyu Wibowo SH dan Indra Wahyudi Kepala Desa jatirunggo dan berdasarkan Akta Notarariil,”.

Kata Any Utaminingsih pula, sesuai data setelah ada transfer dana ke rekening tersebut kemudian terdapat mutasi lagi di antaranya:

1 Dana yang ada di rekening Wandiyana ditransfer kembali ke rekening Agus Sukmaniharto sebesar Rp 410 juta, ditransfer kembali ke rekening Narpati Triyoga Rp 88,45 juta.

2 Dana yang ada di rekening Angga saputra ditransfer kembali ke rekening Koperasi Lintas sebesar Rp 260 juta.

Berkenaan mutasi dari rekening Wanidaya tersebut, Permana Adi menjelaskan, setelah TPT melakukan pembayaran tanah Desa Jatirunggo, pinjaman terhadap Wandiyana dikembalikan, namun ketika melakukan transfer tersebut terjadi kekeliruan, di mana terdapat kelebihan uang masuk ke rekening Wandiyana sehingga secara keseluruhan masuk Rp 668,82 juta.


Namun kelebihan uang tersebut telah diminta Agus Sukmaniharto untuk ditransfer ke rekening Agus sebesar Rp 410 juta, lalu uang tersebut ditransfer ke rekening Hamid atas permintaannya, sedang sisanya Rpo 88,45 juta ditransfer ke rekening Narpati pada tanggal 10 Mei 2010, sebab sebelumnya yang baru tertransfer ke Narpati melalui proses overbooking sebesar Rp256,55 juta, dan Narpai selalu menanyakan kekurangan pembayarannya.

Sedang menyangkut uang overbooking Rp 3 miliar yang masuk ke rekening Agus Sukma, menurut Permana Adi, itu sudah menjadi kesepakatan antara kliennya dengan Hamid, bahwa rekening Agus hanya dipinjam saja.

Uang sebesar itu, jelas ia, belakangan telah ditransfer ke rekening Hamid tiga kali masing-masing tanggal 4 Mei 2010 sebesar Rp 2,396 miliar, tanggal 24 Mei 2010 sebesar Rp 250 juta, dan tanggal 27 Mei 2010 Rp 200 juta, sehingga totalnya Rp 2,846 miliar, dan tersisa Rp 179 juta.

Berikutnya, ada tambahan uang berasal dari penarikan Angga Saputra Rp 200 juta dan pengeluaran lainnya yang dilakukan Angga Saputra atas permintaan Agus Sukmaniharto sebesar Rp 227,5 juta, sehingga jumlah keseluruhannya Rp 606,669 juta, yang semuanya dipergunakan untuk menutup pembayaran-pembayaran terkait penguasaan tanah seperti membayar utang-utang Hamid, tali asih kepada warga Jatirunggo (Mohtarom Rp 30 juta, Jumeri Rp 5 juta, dan Mugiyarto Rp 5 juta), membayar notaris, membayar fee pengacara, membayar fee perantara, memberi komisi jual beli, dipakai Hamid Rp 37,5 juta, dan dipakai Agus Sukmaniharto sendiri Rp 31,932 juta.

Menuju Proses Hukum

Pada saat “pembayaran ganti rugi tanah” di Balai Desa Jatirunggo, 29 April 2010, sesungguhnya terjadi keributan. Permana Adi, penasehat hukum Agus Sukmaniharto, bercerita, pada saat pembayaran itu, Agus tidak ada di lokasi. Ia dihubungi Indra Wahyudi supaya ke Balai Desa Jatirunggo, karena pernah bertransaksi dengan 68 warga yang menjadi bagian dari 99 pemilik tanah.

Terjadinya keributan itu dibenarkan warga Jatirunggo. Menurut Siti Qodriyah, Mahmudi, Irfan, dan Sugimin, ketika dijumpai di Desa Jatirunggo, menjelaskan, ada sebagian warga yang tahu kalau harga tanah itu ternyata Rp50 ribu per meter. Sebab, awalnya, 68 warga menjual tanah itu untuk kepentingan pemerintah dan sudah merasa senang dengan harga Rp20 ribu per meter seperti kesepakan dengan Agus dan Hamid yang pernah batal.

“Segala sesuatunya, semula kami tahunya pemerintah desa. Baru tahu kalau di balik semua ini ada Agus Sukma itu ya tanggal 29 April 2010 saat terjadi pembayaran. Sebagian warga kaget dengan nominal rekening yang demikian besar, dan mendesak kepala desa. Kata Pak Kades, yang bisa menyelesaikan Agus Sukma,” ujar Siti Qodriyah.

Warga sempat ribut dengan minta tambahan Rp 30 ribu/m2 sesuai yang ada dalam buku tabungan, akhirnya terjadi kesepakatan tiap pemilik tanah akan ditambahi Rp 7.500/m2 oleh Agus Sukma pada 10 Mei 2010. Namun janji itu sampai sekarang tidak pernah terpenuhi.

Belakangan, setelah segala upaya buntu, pada awal Agustus 2010 warga Jatirunggo melakukan protes dengan melakukan unjuk rasa ke Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jateng, menuntut agar KIP Jateng membantu warga mendesak Bank Mandiri agar transparan perihal ke mana uang warga itu mengalir.

Namun upaya warga dan KIP Jateng ini pun akhirnya buntu setelah Bank Mandiri berdalih adanya kerahasiaan bank, di mana bank hanya bisa member informasi untuk kepentingan penyidikan.

Masalah overbooking ini kemudian berujung ke ranah pengusutan oleh Kejaksaan Tinggi Jateng. Belakangan Indra Wahyudi, Hamid, Agus Sukma, Any Utaminingsih, dan Suyoto didakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang dalam kasus dugaan penyimpangan anggaran pengadaan lahan pengganti hutan seluas 27,8 ha di Desa Jatirunggo.

Indra Wahyudi dan Any Utaminingsih memilih menghilang dan belakangan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) alias buron. Sementara Hamid dan Suyoto oleh Pengadilan Tipikor Semarang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara, kemudian di tingkat banding diringankan Pengadilan Tinggi Jateng menjadi tiga tahun penjara, dan jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Bagaimana dengan Agus Sukma?

Ia dilepaskan hakim dari dakwaan jaksa oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang). Atas putusan ini Kejaksaan Tinggi Jateng mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Anis Nugroho dan Koperasi

Tak banyak masyarakat yang tahu sejauh apa ketersangkutan Anis Nugroho, karena ia selalu menghindar dari pers. Ketika kasus ini sedang ramai-ramainya mencuat di media massa, Anis selalu menyarankan agar jurnalis mewawancara Herumansyah Denny Dwiyono, manajer Koperasi Lintas Karya Bersama.

Paling banter Anis hanya menjelaskan bahwa Hamid secara telah meminjam uang ke koperasi, tidak tahu untuk kepentingan apa, dan setelah itu memang ada pengembalian uang, namun belum lunas.

Saat tulisan ini hendak diturunkan, April 2012, Anis yang sempat berhasil dihubungi melalui telepon, pernah menyarankan agar pokok-pokok pertanyaan wawancara dapat disampaikan melalui pesan pendek atau short message service (SMS). Namun setelah permintaan itu dipenuhi, tidak ada jawaban. Tiga hari kemudian, saat dihubungi melalui telepon lagi, nomor ponselnya sudah tidak aktif.

Anis Nugroho juga tidak pernah hadir di Pengadilan Tipikor Semarang dalam perkara para terdakwa. Dari pihak Koperasi Lintas Karya Bersama, yang hadir adalah Herumansyah Denny Dwiyono.

Herumansyah Denny Dwiyono sendiri, ketika dihubungi (Mei 2012), menyatakan ketidakberaniannya untuk member keterangan, dengan alasan ada kekhawatiran-kekhawatiran tertentu jika memberi keterangan ke media massa, di samping itu dirinya sudah pernah memberi keterangan di pengadilan.

“Keterangan saya ya sama dengan yang di pengadilan,” katanya.

Dalam dokumen Berita Acara Pemeriksaan penyidik, Anis pernah memberikan keterangan ke penyidik Kejaksaan Timggi Jateng pada 17 Desember 2010. Selain dia, Herumansyah Denny Dwiyono juga telah diperiksa penyidik, pada 13 Desember 2010.

Koperasi Lintas Karya Bersama didirikan pada tahun 2008. Sejak berdirinya hingga peristiwa Jatirunggo disidik Kejaksaan Tinggi Jateng pada tahun 2010, lembaga ini masih diketuai Anis Nugroho.

Fokus usaha koperasi ini adalah simpan pinjam yang bekerja sama dengan Bank Bukopin Semarang. Modal koperasi didapat dari simpanan anggota, berupa simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, dan simpanan khusus berupa modal penyertaan.

Koperasi inilah yang memberi pinjaman ke Hamid Segeir, seorang wiraswasta asal Jakarta Selatan, untuk kepentingan pembelian tanah seluas 21,46 hektar milik 68 warga Desa Jatirunggo dengan harga Rp25 ribu per meter.

Menurut pengakuan Hamid, dirinya mencari pinjaman ke Koperasi Lintas Karya Bersama lantaran tidak memiliki uang untuk membayar 68 bidang tanah milik warga yang ditawarkan Indra Wahyudi, kepala Desa Jatirunggo waktu itu.

Untuk membeli lahan seluas 68 hektar itu dibutuhkan dana Rp4,2 miliar. Hamid bersedia membeli tanah itu seharga Rp 25 ribu dengan rincian, yang Rp20 ribu untuk warga, dan Rp5 ribu untuk Pemerintah Desa Jatirunggo.

“Awal saya tertarik bisnis ini karena yang disampaikan ke saya hanya perikatan saja, bukan melunasi atau memilikinya. Namun nyatanya hingga setahun lebih tak terlunasi, warga resah, dan kata kepala desanya bilang warga minta dilunasi, kalau tidak uang saya itu akan dianggap hangus,” jelasnya.

Karena harus melunasi, terang Hamid, pembayaran ke warga baru dilakukan lagi setelah berhasil mendapat pinjaman dari Koperasi Lintas Karya Bersama.

“Dalam pembicaraan ada kesepakatan kalau Koperasi Lintas Karya bersama sanggup melunasi kekurangan pembayaran kepada 68 warga. Anis awalnya bersedia dengan syarat ingin melakukan sendiri pembayaran karena nilainya besar, dan saya tidak keberatan, dan memang Anis melalui koperasi ini jalan sendiri tanpa saya, tetapi perikatannya atas nama saya,” ujarnya.

Namun yang mengecewakan Hamid dan Agus Sukmaniharto adalah, Anis tidak menepati janjinya. Sampai Februari 2010, Koperasi LKB baru melunasi sebagaian kecil, sedang sebagian besar lainnya hanya diberi 10 persennya saja. “Saya lupa jumlah yang dilunasi,” katanya.

Menurut keterangan Indra Wahyudi ke penyidik, yang dilunasi adalah 22 warga, sedang 46 lainnya baru diberi 10 persennya oleh koperasi. Pembayaran itu dilakukan koperasi mulai pertengahan September 2009 hingga Februari 2010. Sementara Anis dan Denny ke penyidik mengungkapkan, yang terlunasi adalah 18 bidang.

Adapun yang diterima Hamid dari koperasi, diakui Hamid sendiri, seluruhnya mencapai Rp2,56 miliar, dengan rincian Rp1,5 miliar dipakai untuk membayar tanah, sedang sekitar Rp1 miliar dipakai untuk mengganti operasional Hamid selama mengurus tanah Jatirunggo itu.

Karena yang dijanjikan Anis dan Koperasi Lintas Karya bersama-nya itu meleset, untuk menutupi kekurangan, Hamid mencari pendanaan lain, dan meminta Agus mencarinya. Sehingga pada April 2010 mendapatkan pinjaman uang dari Angga Saputra Rp2 miliar, yang kemudian dipakai untuk melunasi warga pada 28 April 2010 atau sehari sebelum “acara pembayaran” oleh TPT dan Bank Mandiri. “Acara pelunasan yang menangani Agus Sukma bersama perangkat desa,” kata Hamid.

Agus Sukmaniharto di muka pengadilan menjelaskan, karena pembayaran tersendat lantaran koperasi tak kunjung melunasi ke warga, Indra Wahyudi lalu memfasilitasi pertemuan untuk mengatasi masalah tersebut.

Maka terjadilah pertemuan di karaoke Inul Vista pada Maret 2010 yang dihadiri Hamid, Suyoto, Indra, dan Any, dalam satu ruangan selama kurang lebih 15 menit.

Namun apa yang dibicarakan, Agus Sukma mengaku tidak tahu. Setelah pertemuan, Agus diminta Hamid mencari dana guna melunasi tanah-tanah yang dibelinya.

Indra punya versi lain. Di karaoke itu, mereka membuka dua ruangan. Any dan anak buahnya berada satu ruangan dengan Suyoto dan Hartono, sedang ruangan lain diisi Hamid dan Agus. Setelah menyalami semuanya di dua ruangan itu, Indra dan Hartono mengaku pindah ke karaoke Hotel Rinjani Semarang.

“Itu cuma acara nyanyi-nyanyi biasa, atas undangan Any dari Bank Mandiri,” ujar Kairul Anwar, pengacara Suyoto.

Sementara Hamid beralasan,“Saya datang atas undangan Any hanya untuk diminta membayari, habis Rp3 juta lebih.”

Perkenalan Anis-Hamid


Anis Nugroho kepada penyidik mengaku, perkenalannya dengan Hamid dan Agus Sukma terjadi ketika pada Juli 2009 kedua tamunya itu datang dari Jakarta, menawarkan proposal tentang pengadaan tanah pengganti hutan yang sudah dirintis mereka.

“Mereka meminta saya menjadi investor untuk menyuntikkan dana ke Hamid. Setelah saya pelajari dan perhitungkan, tawaran tersebut saya tolak dan saya meminta ke Hamid kalau mau supaya meminjam dana saja ke Koperasi LKB dengan menghubungi manajernya,” katanya ke penyidik.

Selanjutnya, pada Agustus 2009, Agus Sukma, Indra Wahyudi, dan Deddy Sulistiyono, datang menemui Manajer Koperasi untuk melakukan peminjaman dan menjaminkan 29 sertifikat tanah asli milik warga Jatirunggo, 39 letter C asli, 68 akta jual beli tanah antara Hamid dengan pemilik tanah, dan 68 akta kuasa antara pemilik tanah dengan Hamid.

Berkenaan pinjaman tersebut, telah dilakukan secara tertulis menggunakan Akta Pernyataan Pengakuan Utang No 41 tanggal 9 November 2009.

Jangka waktu pinjaman adalah tiga bulan dengan bunga 1,7 persen per bulan. Berdasarkan perhitungan, maka besar pinjaman yang harus dikembalikan adalah Rp2,79 miliar.

Menurut Denny Dwiyono, Any Utaminingsih pada Februari 2010 pernah datang ke kantor Koperasi Lintas Karya Bersama yang menjelaskan kalau pembayaran utang tersebut akan dibayar melalui Bank Mandiri dengan dana dari proses pembayaran ganti rugi oleh TPT.

Untuk itu Koperasi diminta membuka rekening tabungan di Bank Mandiri Cabang Gang Pinggir guna menampung dana pembayaran utang Hamid. Menurut Denny, Any kala itu masih menjadi Kepala KCP Bank Mandiri Gang Pinggir Semarang dan ketika pembayaran oleh TPT sudah menjadi kepala KCP Bank Mandiri Tembalang Semarang.

Terhadap perjanjian itu, Hamid baru membayar Rp2,6 miliar yang dilakukan pada 29 April 2010 (hari “pembayaran bersama”) dengan cara mentransfer ke rekening Koperasi LKB di Bank Mandiri Gang Pinggir Semarang, dan sisanya yang belum dibayar sampai sekarang Rp198,6 juta.

Overbooking ke Fadiah Moegiono

Perempuan ini tercatat telah menerima aliran overbooking dari Bank Mandiri sebesar Rp2,3 miliar. Namun ia sama sekali tidak pernah dimintai keterangan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Jateng, juga tidak pernah dihadirkan jaksa di Pengadilan Tipikor Semarang untuk dimintai keterangan dalam perkara para terdakwa.

Saat dihubungi lewat telepon, Mei 2012, seorang perempuan menyatakan penulis mungkin salah menghubungi orang. Esoknya, penulis mencoba mendatangi rumah Fadiah di Jalan Jendral Sudirman No 58, Kabupaten Batang, yang jaraknya sekitar 200 meter dari Alun-alun Batang Kota.

Yang membukakan pintu adalah seorang perempuan yang menanyakan maksud kedatangan. Setelah dijelaskan, ia meminta agar menunggu sebentar di teras depan. Tak lama kemudian seorang lelaki datang mengendarai mobil sedan plat B warna kuning kunyit yang mengaku dari sebuah bank, dan ia pun diterima terlebih dahulu oleh Fadiah. Dari teras depan, terdengar ada suara perdebatan kecil mengenai masalah tanah, di antara mereka.

Selepas tamu tersebut meninggalkan tempat, Fadiah tidak segera keluar. Setelah menunggu setengah jam lebih, Fadiah yang mengenakan jilbab warna merah dan kemeja coklat tua, akhirnya keluar menjumpai di teras depan dan menanyakan maksud kedatangan.

Setelah dijelaskan, Fadiah mempertanyakan dari mana penulis memiliki data tentang identitasnya. Penulis selanjutnya memperlihatkan BAP penyidik Kejaksaan Tinggi Jateng terhadap Any Utaminingsih, Indra Wahyudi, Agus Sukma, dan Hamid Segeir. Fadiah menyatakan tidak mengenal Any dan Hamid, sembari heran bagaimana namanya bisa ada dalam berkas pemeriksaannya Any dan Hamid.

Ia lantas menanyakan lagi kenapa dirinya akan diwawancara dalam masalah Jatirunggo, karena Kejaksaan Tinggi Jateng sendiri tidak pernah menyidiknya atau menghadirkannya di pengadilan.

“Kejaksaan Tinggi tentunya tahu posisi saya sehingga saya tidak perlu diperiksa, tapi kenapa Mas kok malah mau wawancara saya?” ucapnya.

Ia juga menyatakan keberatan disebut berinvestasi tanah di Jatirunggo, sebelum tanah itu dijual ke TPT. Dia pun mempersoalkan penyebutan kepala Desa Jatirunggo Indra Wahyudi yang menyebutnya sebagai menguasai 20 bidang tanah. Namun setelah diminta menjelaskan fakta sebenarnya, ia pun menolak.

Fadiah sempat mengungkapkan, dirinya baru akan menjelaskan kalau sudah melihat bentuk tulisannya terlebih dahulu. Berkenaan itu, penulis menjelaskan jika memang Fadiah menolak memberi keterangan, penulis tidak keberatan. Akhirnya Fadiah menyatakan memilih tidak memberi keterangan apa-apa.

Setelah penulis mengemasi berkas-berkas, Fadiah mengajak membicarakan hal lain, seperti pekerjaan suaminya, Moegiono, yang berkiprah sebagai ketua Lembaga Bantuan Hukum Perjuangan Semarang, dan seputar pribadinya di masa lalu, serta topik lain selama setengah jam lebih.

Sosok dan peran Fadiah disebut oleh tiga orang yang tersangkut kasus Jatirunggo: Hamid Segeir, Agus Sukmaniharto, dan Indra Wahyudi saat diperiksa penyidik.

Menurut keterangan Hamid saat dijumpai, Agus Sukmaniharto telah melibatkan Fadiah Moegiono sejak ada penambahan luas tanah pengganti hutan di Desa Jatirunggo.

Dia ceritakan, semula sesuai rencana tanah lahan pengganti yang ditetapkan Menteri Kehutanan adalah seluas 44,82 hektare, masing-masing berada di Desa Mluweh, Kecamatan Ungaran Timur seluas 23,48 hektare, serta di Desa Jatirunggo seluas 21,34 hektare.

Belakangan, luas untuk lahan pengganti di Desa Jatirunggo akan ditambah seluas 5,79 hektare, sebab ada pengurangan luas lahan kompensasi di Desa Mluweh.

Berkenaan adanya penambahan luas lahan tersebut, Indra Wahyudi meminta Hamid membayarnya. Oleh karena Hamid tidak memiliki dana, dia lantas meminta Agus Sukmaniharto mencarikan dana untuk kepentingan penguasaan lahan tersebut, di mana akhirnya Agus menghubungi Fadiah yang bersedia membayar tanah warga seharga Rp 45 ribu per meter persegi, dengan catatan tanah akan dibayar Rp 30 ribu/m2, rinciannya Rp 20 ribu/m2 dibayarkan ke warga, Rp 5 ribu/m2 untuk kepala desa dan kawan-kawan, sebesar Rp 5 ribu/m2 untuk keperluan lain-lain, sedang sisanya akan dibayar setelah dilakukan pembayaran oleh TPT tetapi dipotong Rp 5 ribu/m2 oleh Fadiah.

Indra menjelaskan, semula tanah itu dibayari oleh investor Sutrasdi, warga Ungaran, yang ketika itu mau membeli dengan harga Rp20 ribu per meter. Sutrasdi lalu memberi tanda jadi lima persen. Bak pedagang, Sutrasdi kemudian menjual tanah sebanyak 20 bidang tersebut ke Fadiah seharga Rp45 ribu per meter, namun oleh Fadiah baru dibayar Rp35 ribu/m2.

“Pembayaran tanah sebanyak 20 bidang seluas 5,7 hektare dengan pembayaran Rp35 ribu dilakukan Fadiah pada bulan Maret 2009. Dilakukan Fadiah sendiri, di rumah saya, dengan membawa petugas bank,” kata Indra Wahyudi pada penyidik, 17 Maret 2011 silam. “Setiap pembayaran ke warga, Bu Fadiah memotretnya,” ujar Notaris Wahyu Wibawa.

Untuk pembayaran yang dilakukan Fadiah tersebut, warga sendiri hanya mendapat Rp20 ribu per meter dengan diberi buku tabungan Bank BPD Cabang Ungaran atas nama masing-masing pemilik tanah. Sedang sisanya, sebesar Rp 15 ribu per meter, menjadi jatah Indra Wahyudi dan perangkat desa yang masing-masing mendapat 2,5 persen, Sutrasdi lima persen, dan Agus Sukmaniharto 7,5 persen.

Adapun sisa uang sebesar Rp 15.000 x 5,7 hektar = Rp 835 juta oleh Fadiah diberikan kepada Indra Wahyudi sebesar Rp 50 juta, diberikan kepada Agus Sukmaniharto Rp 835 juta, kemudian Indra Wahyudi diberi lagi Rp 92 juta oleh Agus Sukmaniharto tetapi saat itu diminta lagi oleh Agus (konon, pengakuan Agus ke Indra, ialah untuk diberikan kepada unsur Perhutani). “Sedang sisanya lagi sebesar Rp 680 juta Indra Wahyudi tidak mengetahui untuk apa,” aku Indra Wahyudi.

Tidak ada pembahasan ketersangkutan Fadiah dalam berkas berita acara penyidikan dan dakwaan perkara Agus Sukmaniharto. Kata Permana Adi,”Wah kalau tentang Fadiah saya tidak tahu sebab itu tidak ada dalam BAP klien saya.” Namun Agus banyak bersaksi mengenai ketersangkutan Fadiah ini dalam perkara Hamid. Sedikit banyak keterangannya sama dengan kesaksian Indra Wahyudi pada penyidik.

Menurut Agus Sukmaniharto, saat pelunasan Fadiah kepada warga, di situ terdapat kepala desa, Muzaidi (salah satu kepala dusun di Desa Jatirunggo), dan Notaris Wahyu Wibawa yang membuat Akta Pernyataan Pelunasan dan Akta Perjanjian antara warga dengan Sutrasdi. Setelah pelunasan tanah oleh Fadiah selesai, Fadiah pada bulan Maret 2009 membuat akta jual beli tanah antara Sutrasdi dengan seseorang bernama Ita (identitas belum diketahui).

Indra Tak Pernah Pulang

Mantan Kades Jatirunggo Indra Wahyudi sampai kini tidak diketahui jelas keberadaannya. Sumiarti (39), istri Indra Wahyudi, ketika dijumpai di kediamannya di Desa Jatirunggo, April 2012 menyatakan, Indra pergi meninggalkan rumah sejak pertengahan 2011. “Kasihan Bapak, dia itu tidak dapat apa-apa. Sampai sekarang ia tidak lagi pulang, meski ada yang mengabarkan ia pernah pulang,” katanya.

Menurut Sumiarti, Indra sengaja memilih buron, ketimbang mengikuti proses hukum kasus dugaan korupsi pengadaan lahan pengganti hutan yang terkena proyek jalan tol Semarang-Solo itu. Alasannya: karena kejaksaan dianggap tidak adil dalam proses hukumnya.

“Bapak bilang, kalau saja para pengusaha yang menerima aliran dana dari overbooking (pemindahbukuan) dana pembelian lahan 99 warga Desa Jatirunggo itu ikut diproses hukum, suaminya sudah berkomitmen untuk menyerahkan diri,” tutur Sumiarti.

“Ia merasa ditipu mentah-mentah, ia sudah banyak berkorban, bapak tidak dapat apa-apa, kasihan. Bahkan sertifikat-sertifikat saudara-saudaranya ikut diagunkan ke Koperasi Lintas Karya Bersama untuk mendapatkan pinjaman, guna menutup pembelian tanah warga yang tanahnya akan dijual ke TPT, dan itu sampai sekarang sertifikat-sertifikat itu belum kembali,” katanya.

Any pun Memilih Buron

Any Utaminingsih tentu saja tidak dapat dimintai keterangannya berkenaan kasus ini, karena berstatus buronan. Menurut Anwar, ayah Any yang dijumpai di kediamannya Jalan Lamongan, Semarang, putrinya itu sudah pamit meninggalkan rumah sejak November 2010, bersama suaminya, Wandiyana.

“Dia memilih pergi ketimbang memilih mengikuti proses hukum karena merasa kalau mengikuti proses hukum dirinya akan habis-habisan. Ia pamit, kalau tak salah sekitar November 2010,” tutur Anwar.

Anwar mengaku, Any memang bercerita mengenai masalah Jatirunggo yang menimpanya. Kepadanya, Any menyatakan sebenarnya tidak bersalah, namun herannya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

“Cerita dia ke saya begitu, tidak bersalah apa-apa. Namun kan saya tidak tahu masalahnya bagaimana,” tuturnya. “Sebenarnya saya ya gelo (kecewa-Red), sebab ia ini studinya bagus, karir pekerjaannya bagus, tapi tiba-tiba mendapat masalah begini, dan langsung telak,” ucapnya.

Vice President Bank Mandiri Regional IV/Semarang, Arnold, ketika dijumpai di kantornya, Mei 2012, menyatakan pihaknya sudah tidak ingin membahas masalah teknis terkait Jatirunggo itu, sebab masalah itu sudah diproses hukum.

Arnold berpendapat, menurut penilaian pimpinan Bank Mandiri, sebetulnya Any sudah melaksanakan fungsinya atau pekerjaan dia sesuai dengan aturan.

“Ia sudah memenuhi ketentuan formil yang disyaratkan pada nasabah. Ada SI, ada surat kuasa dari nasabah, dan lain-lain. Secara perbankan, sebetulnya itu sudah sesuai. Masalah ia jadi tersangka, itu kan masalah proses hukum, dan itulah yang membikinnya tidak nyaman,” terang dia.

Any, menurutnya, sudah mengundurkan diri sekitar akhir 2010. Pengunduran diri Any itu, kata Arnold lagi, disebabkan ketidaknyamanan yang bersangkutan karena tidak bisa konsentrasi penuh dalam pekerjaan.


“Status tersangkanya itulah yang membuat ia tidak nyaman, dan merasa karir dia di Bank Mandiri akan terhambat. Sebelumnya, saat masih berstatus sebagai saksi, ia masih bekerja dengan baik,” jelasnya.

Warisan Masalah

Hingga karya ini dituliskan, perkara tanah Desa Jatirunggo meninggalkan warisan masalah yang masih pelik bagi negara pihak-pihak terkait. Kementerian PU mengklaim telah memiliki tanah tersebut dari warga namun belum bisa menyerahkan tanahnya ke Kementerian Kehutanan sebagai lahan pengganti hutan yang tertabrak jalan tol, lantaran kondisinya yang belum clear and clean.

Bagi warga Desa Jatirunggo, secara sosial telah telah membuat mereka terkotak-kotak dan memiliki pandangan beragam kaitan masalah yang mereka hadapi. Bila ada yang terkecewakan koordinatornya, atau cemburu karena ada koodinator yang memperoleh imbalan sementara warga umumnya tidak, kemudian pindah koordinator.

Ada yang memandang, tanah mereka harusnya seharga Rp 50 ribu/m2, dan karena baru terbayar Rp 20 ribu/m2, warga ini masih mengharapkan kekurangannya yang Rp 30 ribu/m2 dapat mereka peroleh kembali, tetapi kebingungan dan ragu melangkah bagaimana cara mendapatkannya, apakah harus menggugat perdata ke Bank Mandiri, atau gimana. “Kami sendiri akan ke Kejaksaan Tinggi untuk menanyakan masalah tanah ini,” ujar Sugimin, warga setempat.

Ada juga yang mengharap tanah tersebut kembali ke pangkuan mereka karena hak mereka yang Rp 50 ribu/m2 tidak diterima secara utuh. Seperti diungkapan Muhtarom: “Sampai saat ini tanah masih dikuasai saya dan tidak akan diserahkan ke pemerintah sebelum pemerintah membayar seharga Rp 50 ribu/m2.”

Bagi sebagian warga Jatirunggo yang lain, rupanya di antara mereka pun ada yang belum memperoleh pelunasan dari Hamid yang membeli tanah warga Rp 20 ribu/m2, sebelum TPT masuk. Seperti diungkapkan Mahmudi, yang memiliki lahan seluas 1.891 m2, baru menerima Rp 28,4 juta dari yang seharusnya Rp37,82 juta, yang kala itu pembayaran dari Indra Wahyudi dan perangkat desa, diangsur.

Bagi anak istri mantan Kades Jatirunggo, Indra Wahyudi, secara sosial juga menjadi problem sendiri, lebih-lebih setelah Indra memilih pergi meninggalkan tanggung jawab hukum sekaligus tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.

Keluarga menjadi bahan pembincaraan yang tak henti-henti, dan sang anak, Rizal Bahrul Alam (10), sering disuguhi pertanyaan tetangga, ke mana sang ayah pergi. “Kasihan Rizal,” ujar Sumiarti.

Belakangan keluarga ini juga didera isu bahwa Indra Wahyudi sering pulang ke rumah yang ditinggali Mbah Karti (75), ibunya Indra Wahyudi, yang lokasinya tak jauh dari rumah yang ditinggali anak istri Indra Wahyudi. “Isu itu tida benar, Bapak tidak pernah pulang. Itu kan isu bikinan orang-orang yang tidak suka sama Bapak,” ucap Sumiarti.

Selain itu, keluarga ini juga masih dibebani tanggung jawab atas delapan sertifikat kepunyaan saudara Indra Wahyudi, yang telah dijaminkan ke Koperasi Lintas Karya Bersama, saat Agus Sukmaniharto dan Hamid meminjam uang ke koperasi tersebut.

“Ceritanya kan begini, waktu itu warga mendesak kepala desa agar tanahnya segera terlunasi. Bapak lantas mendesak Agsu Sukmaniharto, nah Agus menawarkan apakah Bapak punya sertifikat untuk dijaminkan supaya bisa pinjam uang ke koperasinya Pak Anis, akhirnya Bapak minjam sertifikat-sertifikat saudaranya,” jelas Sumiarti.

Sertifikat tersebut sampai sekarang masih tertahan di Koperasi Lintas Karya Bersama. Sumiarti tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mengambil sertifikat-sertifikat tersebut. “Bapak itu maunya membantu warga tapi jadinya malah begini,” ujarnya.

Banyak pihak menyayangkan kenapa Indra Wahyudi menempuh jalan yang sekarang ini, kenapa tidak diikuti saja proses hokum yang berjalan. “Pernah sebelum buron ia menelepon saya mau begitu (menghilang), ya saya jawab: saya tidak menyarankan tapi itu hak Anda. Ternyata ngilang beneran. Kenapa tidak ia ikuti saja proses hukumnya,” ujar Tyas Tri Arsoyo, mantan pengacara Indra Wahyudi.

Masalah Jatirunggo juga mewariskan perasaan tidak senang terhadap hukum. Pernyataan Sumiarti mengenai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum, rupanya tidak hanya dirasakan Indra Wahyudi dan keluarga, namun juga dirasakan oleh pihak Hamid, Suyoto, bahkan pihak Agus Sukmaniharto yang dilepaskan dari dakwaan jaksa oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tipikor Semarang).

Kairul Anwar SH, penasehat hukumnya Suyoto misalnya, menyatakan, peran orang-orang berduit itu kualitas pidananya jauh lebih besar ketimbang peran kliennya. Apa pun bentuk kerja sama orang-orang berduit dengan Hamid dan Agus Sukmaniharto, entah itu utang-piutang, atau salling percaya, kata Kairul, yang jelas mereka ini telah menerima uang negara yang telah di-overbooking.

“Itu kalau mendasarkan perkara Hamid yang dinyatakan terbukti bersalah. Kalau mendasarkan perkara Agus Sukmaniharto yang dilepaskan dari hukum, ya sebaliknya, mereka (orang-orang berduit) ini tidak bersalah, bahkan menurut hukum harus dilindungi,” ujar Kairul.

Hamid sendiri ketika dijumpai mengatakan, apa yang ia perankan secara kualitas sebenarnya tidak jauh beda dengan “orang-orang kaya” lainnya. “Tapi kok Agus Sukmaniharto dilepaskan, lainnya juga tidak diproses hukum. Kalau saya, saya akui saya teledor.”

Fadjar Tri Nugroho SH, penasehat hokum Hamid, menyatakan, perkara Hamid saat ini sedang proses kasasi ke Mahkamah Agung. Nanti setelah ada putusan MA berarti perkara itu sudah final.

“Putusan MA ini akan menjadi pijakan atau fakta hukum yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika MA menyatakan Hamid ini bersalah, kami akan melaporkan pihak-pihak lain yang ‘turut serta melakukan perbuatan’ atau memberikan ‘perbantuan’ tetapi tidak dipidana ini, ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan lainnya,” tandas Fadjar.

Pihak Agus Sukmaniharto sendiri mengungkapkan hal senada. Permana Adi SH, penasehat hukum Agus, telah membeberkan belasan kecacatan dakwaan jaksa dan pertimbangan majelis hakim. Salah satu cacatnya adalah, penyidik telah pilih kasih dalam menetapkan tersangka/terdakwa dalam perkara itu. “Tersangka yang dtetapkan Kejaksaan Tinggi Jateng itu tidak lengkap,” ujarnya.

Dan bagi ayah ibu Any Utaminingsih, ditinggalkan anak adalah tangis batin mendalam. Anwar (73), ayah Any, saat dijumpai di kediamannya mengatakan,”Kenyataan seperti ini tentu tangis batin bagi saya. Kalau Bu Farida, ibunya Any, dia malah lebih tabah dari saya.”

Belakangan, karena persoalan-persoalan intern dan mulai muncul perasaan saling tidak percaya, antara Agus Sukmaniharto dengan Hamid Segeir yang tadinya bersekutu, sekarang menjadi berseteru.

Pengalaman Jatirunggo telah mewariskan masalah sendiri-sendiri bagi banyak pihak, baik bagi negara maupun bagi pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya, dan hal “serupa tapi tak sama” akan sangat mungkin terulang di belahan bumi Indonesia yang lain pada ruang waktu yang berbeda. Sebab, begitulah kehidupan, dan “penindasan manusia oleh manusia” akan selalu mengancam siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. (*) 
 
sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar