SEMARANG– Warga Desa Lemahireng, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang mengancam akan menduduki lahan tol ruas Ungaran-Bawen.Ancaman ini karena warga mengaku kesal dengan Tim Pembebasan Tanah (TPT) yang tak kunjung mengubah nominal ganti rugi lahan yang terkena proyek jalan bebas hambatan.
Mereka beralasan nilai ganti rugi yang didapatkan lebih rendah dari harga tanah di sekitarnya. ”Untuk mendirikan tenda pun kami siap.Warga sudah sepakat akan bergotong royong,” kata kuasa hukum warga, Heri Sulistiyono,kemarin. Warga sebenarnya tidak bermaksud menghalang-halangi upayapemerintah dalam membangun megaproyek tol. Sejak awal warga sudah bersedia untuk diajak bernegosisasi dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T).
”Kalau tidak mendukung, sejak awal sudah kami tolak,”tandas Heri. Menurut dia, jual beli tanah di lokasi yang masih satu petak namun tidak terkena jalan tol lebih tinggi.Dia mencontohkan, sekitar satu bulan lalu tanah di zona empat yang tidak terkena jalan tol dijual oleh pemiliknya Rp125.000 per meter persegi. Jual beli ini juga dilakukan bersama dengan notaris dan bisa dibuktikan.
”Jika memang tidak ada perubahan,kami siap melakukan perlawanan,”ucap Heri. Sebelumnya, TPT telah bulat menetapkan harga lahan Lemahireng untuk zona I Rp175.000 meter persegi, zona II Rp115.000 per meter persegi, zona III Rp90.000 per meter persegi dan zona IV Rp65.000 per meter persegi. Sedangkan permintaan warga untuk zona I Rp400.000 per meter persegi, zona II Rp350.000, zona III Rp300.000 dan zona IV Rp250.000.
Koordinator warga Karlan memastikan,di wilayahnya tidak ada broker tanah. Seluruh tanah saat ini masih menjadi hak milik (HM) warga. ”Broker sudah tidak berani masuk. Salah kalau ada yang bilang ada broker,” tandas Karlan. Warga lainnya Kusman Sutiyono mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah mengajukan keberatan terkait dengan harga yang telah ditetapkan. Namun sampai sekarang belum ada respons.
Pengelola Jalan Tol Harus Jujur
Sementara itu, kalangan DPRD Jateng mendesak agar PT Trans Marga Jateng (TMJ) selaku pengelola jalan tol Semarang- Solo bersikap jujur, terkait kondisi Jembatan Penggaron di ruas Semarang-Ungaran. ”Kehati-hatian ini harus diiringi dengan aspek sains dan kejujuran. Kalau tidak masyarakat banyak yang akan dirugikan, karena sampai sekarang pun masih ada masyarakat yang ragu menggunakan jalan tol,” kata anggota Komisi D DPRD Jateng Hadi Santoso.
Jembatan Penggaron berdiri di atas formasi kerek (batuan lempung serpih), yang rawan terjadi pergerakan tanah. Sebelumnya PT TMJ mengklaim retakan pilar nomor lima terjadi pada 2010 dan pada akhir tahun sudah selesai diperbaiki. Direktur Utama Teknik dan Operasi PT TMJ Ari Nugroho itu menepis foto jembatan yang dimuat di media massa merupakan kejadian terbaru. ”Mohon maaf, itu foto (jembatan) diambil tahun 2010,” tandas Ari.
Ketua Tim Evaluasi Engineering Tol Semarang-Solo Prof Paulus Pramono Rahardjo menyebutkan, retakan di pilar urutan keempat, lima dan enam terjadi pada Maret-April 2011. Anggota Komisi D lainnya Gatyt Sari Chotijah menuturkan, seharusnya PT TMJ juga memberikan hasil laporan pemantauan, minimal sebulan sekali kepada Dewan. arif purniawan
Mereka beralasan nilai ganti rugi yang didapatkan lebih rendah dari harga tanah di sekitarnya. ”Untuk mendirikan tenda pun kami siap.Warga sudah sepakat akan bergotong royong,” kata kuasa hukum warga, Heri Sulistiyono,kemarin. Warga sebenarnya tidak bermaksud menghalang-halangi upayapemerintah dalam membangun megaproyek tol. Sejak awal warga sudah bersedia untuk diajak bernegosisasi dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T).
”Kalau tidak mendukung, sejak awal sudah kami tolak,”tandas Heri. Menurut dia, jual beli tanah di lokasi yang masih satu petak namun tidak terkena jalan tol lebih tinggi.Dia mencontohkan, sekitar satu bulan lalu tanah di zona empat yang tidak terkena jalan tol dijual oleh pemiliknya Rp125.000 per meter persegi. Jual beli ini juga dilakukan bersama dengan notaris dan bisa dibuktikan.
”Jika memang tidak ada perubahan,kami siap melakukan perlawanan,”ucap Heri. Sebelumnya, TPT telah bulat menetapkan harga lahan Lemahireng untuk zona I Rp175.000 meter persegi, zona II Rp115.000 per meter persegi, zona III Rp90.000 per meter persegi dan zona IV Rp65.000 per meter persegi. Sedangkan permintaan warga untuk zona I Rp400.000 per meter persegi, zona II Rp350.000, zona III Rp300.000 dan zona IV Rp250.000.
Koordinator warga Karlan memastikan,di wilayahnya tidak ada broker tanah. Seluruh tanah saat ini masih menjadi hak milik (HM) warga. ”Broker sudah tidak berani masuk. Salah kalau ada yang bilang ada broker,” tandas Karlan. Warga lainnya Kusman Sutiyono mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah mengajukan keberatan terkait dengan harga yang telah ditetapkan. Namun sampai sekarang belum ada respons.
Pengelola Jalan Tol Harus Jujur
Sementara itu, kalangan DPRD Jateng mendesak agar PT Trans Marga Jateng (TMJ) selaku pengelola jalan tol Semarang- Solo bersikap jujur, terkait kondisi Jembatan Penggaron di ruas Semarang-Ungaran. ”Kehati-hatian ini harus diiringi dengan aspek sains dan kejujuran. Kalau tidak masyarakat banyak yang akan dirugikan, karena sampai sekarang pun masih ada masyarakat yang ragu menggunakan jalan tol,” kata anggota Komisi D DPRD Jateng Hadi Santoso.
Jembatan Penggaron berdiri di atas formasi kerek (batuan lempung serpih), yang rawan terjadi pergerakan tanah. Sebelumnya PT TMJ mengklaim retakan pilar nomor lima terjadi pada 2010 dan pada akhir tahun sudah selesai diperbaiki. Direktur Utama Teknik dan Operasi PT TMJ Ari Nugroho itu menepis foto jembatan yang dimuat di media massa merupakan kejadian terbaru. ”Mohon maaf, itu foto (jembatan) diambil tahun 2010,” tandas Ari.
Ketua Tim Evaluasi Engineering Tol Semarang-Solo Prof Paulus Pramono Rahardjo menyebutkan, retakan di pilar urutan keempat, lima dan enam terjadi pada Maret-April 2011. Anggota Komisi D lainnya Gatyt Sari Chotijah menuturkan, seharusnya PT TMJ juga memberikan hasil laporan pemantauan, minimal sebulan sekali kepada Dewan. arif purniawan
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar